Akibat Hukuman Guru, ABG Ini Alami Cacat Setelah Dipaksa Squat Seribu Kali - Beritakarya.id
Berita  

Akibat Hukuman Guru, ABG Ini Alami Cacat Setelah Dipaksa Squat Seribu Kali

Seorang ibu di Shandong, China, merasa marah setelah mengetahui bahwa anaknya yang berusia 13 tahun mengalami cacat akibat hukuman yang diberikan oleh guru. Anak tersebut dipaksa untuk melakukan squat sebanyak 1.000 kali sebagai bentuk hukuman. Kejadian ini menimbulkan kecaman dari masyarakat dan menyoroti pentingnya perlakuan yang manusiawi terhadap siswa, serta perlunya pengawasan lebih ketat terhadap praktik disiplin di sekolah. Ibu tersebut berharap agar tindakan tersebut dapat ditindaklanjuti agar tidak ada anak lain yang mengalami nasib serupa.

Hukuman melakukan squat seribu kali tersebut mengakibatkan remaja yang tidak disebutkan namanya itu mengidap kondisi serius yang dapat mengancam nyawa, yaitu rhabdomyolysis. Menurut laporan dari Oddity Central, ibu remaja tersebut, yang bernama Lu, mengungkapkan kronologi kejadian yang dialami anaknya. Ia menuturkan bahwa setelah menjalani hukuman ekstrem itu, anaknya mengalami gejala yang mengkhawatirkan dan harus mendapatkan perawatan medis segera. Kejadian ini semakin menyoroti perlunya penanganan yang lebih baik terhadap disiplin di sekolah dan perlindungan terhadap kesejahteraan siswa.

Semua berawal pada musim panas lalu ketika anaknya mendaftar untuk mengikuti perkemahan selama tujuh hari. Dalam acara tersebut, anaknya berkesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya dan terlibat dalam berbagai aktivitas fisik yang menyenangkan. Namun, pengalaman positif ini berubah menjadi mimpi buruk ketika ia menerima hukuman yang tidak proporsional, yang berujung pada kondisi kesehatan yang mengkhawatirkan. Kejadian ini menyoroti pentingnya pendekatan yang lebih bijak dalam mendidik dan mendisiplinkan anak-anak di lingkungan pendidikan.

Semua tampak baik-baik saja hingga Lu menerima foto-foto upacara kelulusan putranya yang dikirim oleh penyelenggara perkemahan. Saat melihat gambar-gambar tersebut bersama suaminya, Lu menyadari bahwa anak mereka tampak memiliki mata merah dan ekspresi yang sedih. Selain itu, mereka juga memperhatikan bahwa kaki putra mereka terlihat sangat lemas. Melihat kondisi anaknya yang tidak sehat dan penuh kesedihan, Lu mulai khawatir dan merasa ada yang tidak beres dengan pengalaman perkemahan yang seharusnya menyenangkan itu.

Ketika pihak penyelenggara ditanyai mengenai kondisi anak Lu, mereka mengklaim bahwa semuanya dalam keadaan baik-baik saja. Pernyataan tersebut semakin menambah kekecewaan Lu dan suaminya, yang merasa bahwa perhatian dan tanggung jawab penyelenggara terhadap kesejahteraan peserta perkemahan tidak memadai. Respons ini menciptakan keraguan dan kekhawatiran lebih lanjut tentang bagaimana perkemahan tersebut dikelola dan apakah anak-anak lainnya juga mendapatkan perlakuan yang sama.

Ketika Lu tiba untuk menjemput anaknya, ia segera menyadari ada yang tidak beres. Putranya terlihat duduk di bangku, tampak kesulitan dan hampir tidak bisa berdiri. Kondisi ini membuat hati Lu semakin cemas, karena ia merasa ada yang salah dengan kesehatan anaknya. Keadaan tersebut menandakan bahwa hukuman yang diterima anaknya mungkin telah menyebabkan dampak serius pada tubuhnya, sehingga memicu Lu untuk segera mencari bantuan medis.

Karena merasa penasaran, Lu kembali bertanya kepada pihak penyelenggara tentang apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya, terungkaplah bahwa sebelum upacara kelulusan, anaknya sempat dihukum untuk melakukan squat sebanyak 1.000 kali setelah kepergok berbicara dengan anak lain. Informasi ini mengejutkan Lu, karena hukuman yang diberikan jelas tidak sebanding dengan kesalahan kecil yang dilakukan anaknya. Penjelasan ini menambah rasa marah dan kecewa Lu terhadap pihak penyelenggara yang seharusnya menjaga keselamatan dan kesejahteraan anak-anak selama perkemahan.

Setelah melakukan squat sebanyak 200 kali, ia terjatuh ke tanah akibat nyeri yang luar biasa pada ototnya. Alih-alih mendapatkan bantuan, guru yang memberikan hukuman malah menendangnya dan membiarkannya merangkak dalam keadaan kesakitan. Anak tersebut akhirnya hanya mendapatkan bantuan untuk berdiri dan duduk di bangku saat upacara kelulusan dimulai, dan itu pun hanya karena orang tua mulai berdatangan.

Setibanya di rumah sakit, dokter awalnya mendiagnosis anak tersebut mengalami cedera otot ringan. Setelah pemeriksaan, dokter memberikan salep untuk meredakan rasa sakitnya dan mengizinkannya pulang. Namun, kondisi ini tetap menimbulkan kekhawatiran bagi Lu dan suaminya, yang merasa bahwa perawatan yang diberikan tidak memadai untuk mengatasi masalah yang lebih serius.

Namun, dalam beberapa hari setelah pulang, kondisi anaknya tidak kunjung membaik ia bahkan mengalami kesulitan untuk berjalan dan tidur di malam hari. Melihat keadaannya yang semakin memburuk, Lu memutuskan untuk membawa anaknya ke RS Afiliasi Jining Medical College untuk pemeriksaan yang lebih mendalam. Keputusan ini diambil dengan harapan mendapatkan diagnosis yang lebih akurat dan perawatan yang lebih sesuai untuk masalah kesehatan yang dihadapi anaknya.

Dokter mendiagnosis anak Lu dengan rhabdomyolysis, sebuah kondisi serius yang dapat mengancam jiwa dan biasanya disebabkan oleh latihan dengan intensitas tinggi dalam waktu singkat. Rhabdomyolysis menyebabkan kerusakan serta kematian jaringan otot rangka, yang berpotensi mengakibatkan komplikasi lebih lanjut jika tidak ditangani dengan segera. Diagnosis ini menjadi titik balik bagi Lu dan keluarganya, yang kini menyadari betapa berbahayanya hukuman yang diterima anaknya.

Jika tidak ditangani dengan tepat, pasien yang mengalami rhabdomyolysis dapat menghadapi masalah serius pada hati dan ginjal. Dalam kasus anak Lu, dokter menjelaskan bahwa kondisi ini disebabkan oleh terlalu banyak melakukan squat. Akibatnya, anak tersebut terpaksa harus menggunakan kursi roda untuk mobilitasnya. Keadaan ini tentu menjadi pukulan berat bagi Lu dan keluarganya, yang kini menyaksikan dampak dari hukuman ekstrem yang diberikan di perkemahan tersebut.

Setelah 13 hari dirawat di rumah sakit, ia akhirnya diperbolehkan pulang, tetapi kondisi kesehatannya belum sepenuhnya pulih. Kini, di usianya yang telah menginjak 14 tahun, ia masih mengalami kesulitan untuk menjalani kehidupan normal seperti anak-anak seusianya. Pengalaman traumatis dan dampak fisik dari hukuman yang diterima telah meninggalkan bekas yang mendalam dalam hidupnya, sehingga membuatnya harus beradaptasi dengan tantangan baru dalam kehidupan sehari-harinya.

Dokter mengungkapkan bahwa kemungkinan besar ia tidak akan bisa menjalani kehidupan normal kembali dan tidak dapat melakukan aktivitas fisik secara serius di masa depan. Otot kakinya mengalami atrofi, di mana jaringan otot menyusut karena tidak berfungsi dengan baik, dan ia juga mengalami kerusakan pada hati serta ginjal. Saat ini, proses hukum sedang berlangsung untuk menuntut pertanggungjawaban atas kejadian yang mengakibatkan kondisi serius ini, dengan harapan agar keadilan dapat ditegakkan dan mencegah kejadian serupa di masa mendatang.