Selama hampir 8 tahun, lebih dari 5,7 juta konten judi online telah tersebar di internet. Pihak Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah menanggapi dan menangani semua konten tersebut.
“Dari 2017-21 Januari 2025, Kementerian Komdigi telah menangani 5.707.952 konten judi online yang beredar di berbagai site dan apps internet,” kata Dirjen Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Alexander Sabar, dalam RDP Panja Judi Online dengan Komisi I DPR RI, Rabu (22/1/2025).
Sabar juga menjelaskan nilai transaksi judi online berdasarkan temuan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) selama sembilan bulan pertama 2024. Data yang diperoleh menunjukkan adanya penurunan setiap triwulannya.
Pada triwulan pertama, nilai transaksi mencapai Rp 21,01 triliun, kemudian turun menjadi Rp 16,1 triliun pada triwulan berikutnya, dan kembali menurun pada triwulan II menjadi Rp 4,1 triliun. Secara keseluruhan, total nilai transaksi judi online selama periode tersebut tercatat sebesar Rp 41,2 triliun.
“Ketika kita lihat data ini ada progress positif dengan menurunnya jumlah transaksi di judi online,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, dia mengungkapkan bahwa pihaknya telah menjalin kerja sama dengan berbagai instansi untuk memberantas judi online. Selain itu, Komdigi juga memiliki tim khusus yang bertugas mengendalikan konten, yang bekerja tanpa henti selama 7 hari dalam seminggu, 24 jam sehari.
Sabar menjelaskan bahwa tim pengendalian bertugas melakukan patroli siber untuk memantau konten internet ilegal. Mereka juga bertanggung jawab untuk memblokir konten ilegal, menerima aduan dari masyarakat dan korporasi, menangani rilis dan penanganan hoaks, serta memverifikasi aduan terkait cekrekening dan hoaks.
Sabar menekankan pentingnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya judi online. Ia juga mengingatkan bahwa masih banyak risiko merugikan yang akan dialami oleh mereka yang terus terlibat dalam aktivitas judi tersebut.
“Praktik judol membawa risiko bagi pelakunya, seperti kecanduan, kerugian finansial, dampak psikologi, bahaya keamanan data pribadi dan risiko lainnya yang merugikan,” jelas Sabar.