Tiga Hakim Pembebas Ronald Tannur Protes Kesaksian KY Hanya Dibacakan di Sidang - Beritakarya.id
Berita  

Tiga Hakim Pembebas Ronald Tannur Protes Kesaksian KY Hanya Dibacakan di Sidang

Tiga hakim nonaktif dari Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang sedang menjalani persidangan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pembacaan kesaksian saksi dari Komisi Yudisial (KY) di ruang sidang. Meski demikian, hakim tetap menginstruksikan jaksa untuk membacakan kesaksian tertulis yang sudah disumpah tersebut.

Ketiga terdakwa dalam persidangan ini adalah Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo. Mereka merupakan majelis hakim yang sebelumnya membebaskan Gregorius Ronald Tannur dalam kasus kematian Dini Sera Afrianti. Sidang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Selasa (11/3/2025).

“Apakah secara patut sudah dipanggil, jika hanya sekali panggilannya, kami keberatan Yang Mulia, jika dibacakan karena saksi masih bisa dipanggil lagi,” ujar kuasa hukum Erintuah dan Mangapul.

Saksi dari KY yang dimaksud adalah Deddy Isniyanto, seorang Fungsional Penata Kehakiman Ahli Muda pada Biro Pengawasan Perilaku Hakim. Jaksa menjelaskan bahwa Isniyanto telah dipanggil sebanyak tiga kali untuk hadir dalam persidangan, namun tidak dapat memenuhi panggilan tersebut. Oleh karena itu, jaksa membacakan keterangannya di depan majelis hakim.

Dalam pernyataannya, Isniyanto mengungkapkan bahwa KY memeriksa Erintuah, Mangapul, dan Heru karena kasus yang mereka tangani mendapat perhatian luas dari masyarakat, serta adanya pengaduan dari keluarga korban. Laporan dari pihak keluarga Dini Sera Afrianti diterima KY pada 29 Juli 2024 dan memuat enam poin keberatan:

  1. Majelis hakim tidak melakukan pemeriksaan ahli forensik secara menyeluruh.
  2. Majelis hakim menolak kesaksian dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
  3. Terdapat perbedaan perlakuan antara saksi ahli yang dihadirkan jaksa penuntut umum dan saksi ahli dari pihak terdakwa.
  4. Putusan majelis hakim bertentangan dengan rekaman CCTV yang diputar di persidangan, di mana fakta dalam rekaman tidak dijadikan pertimbangan dalam putusan.
  5. Bukti foto luka-luka pada tubuh korban yang menyerupai bekas ban kendaraan tidak diperhitungkan dalam putusan.
  6. Penyebab kematian korban dikaitkan dengan konsumsi minuman beralkohol, yang bertentangan dengan visum dan keterangan ahli forensik.

Menindaklanjuti pengaduan tersebut, KY menggelar rapat pleno pada 26 Agustus 2024. Dalam hasil pleno tersebut, KY menyatakan bahwa Erintuah, Mangapul, dan Heru terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim.

“Bahwa atas hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh tim, telah dibahas dalam sidang pleno Komisi Yudisial pada tanggal 26 Agustus 2024 dengan keputusan bahwa ketiga hakim terlapor yang mengadili perkara pidana atas nama Terdakwa Gregorius Ronald Tannur telah terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan atau pedoman perilaku hakim,” ujar Isniyanto dalam keterangannya yang dibacakan jaksa.

KY merekomendasikan agar ketiga hakim tersebut dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun serta diajukan ke Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Namun, Isniyanto mengungkapkan bahwa usulan ini belum mendapatkan tindak lanjut.

“Jika dalam pemeriksaan perkara pidana pengadilan ternyata para hakim terlapor terbukti melakukan tindak pidana, maka Mahkamah Agung dapat menjatuhkan sanksi pemberhentian tanpa melalui mekanisme MKH,” lanjutnya.

Sementara itu, Heru Hanindyo menanggapi pembacaan keterangan Isniyanto dengan menyatakan bahwa ia sudah memprediksi ketidakhadiran saksi dari KY. Heru beralasan bahwa mereka sebelumnya telah diperiksa oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA), sehingga KY tidak lagi memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan ulang terhadap mereka.

“Sebenarnya kita juga bisa memprediksikan kenapa KY tidak hadir, itu karena sudah ada hal yang mana kami itu sudah diperiksa dulu oleh Badan Pengawas Mahkamah Agung. Sehingga sesuai dengan Pasal 23 UU KY, itu KY sudah tidak punya wewenang dalam memeriksa dan menjatuhkan sanksi,” kata Heru.

Heru juga mengutip publikasi dari Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) terkait hasil pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim pada 26 Agustus 2024. Dia menegaskan bahwa pengawasan tidak boleh mengurangi independensi hakim dalam memutus perkara, serta menilai bahwa publikasi KY mengenai hasil pemeriksaan mereka bertentangan dengan prinsip kehati-hatian dan kerahasiaan.

Hakim yang memimpin persidangan meminta agar keberatan tersebut disampaikan dalam nota pembelaan atau pleidoi. Dalam kesempatan yang sama, kuasa hukum Heru menyatakan bahwa mereka akan menghadirkan sembilan saksi dan ahli meringankan.

“Saksi ahli 4, saksi fakta 5 Yang Mulia,” kata kuasa hukum Heru Hanindyo.

Namun, berbeda dengan Heru, kuasa hukum Erintuah dan Mangapul menyatakan bahwa mereka tidak akan mengajukan saksi yang meringankan.

“Dari pihak Pak Mangapul dan Pak Erintuah?” tanya ketua majelis hakim Teguh Santoso.

“Mohon izin Yang Mulia, dengan melihat pemeriksaan tadi kami tidak akan mengajukan saksi atau ahli meringankan,” jawab kuasa hukum mereka.

Dakwaan Suap dan Vonis Bebas Ronald Tannur

Ketiga hakim ini didakwa menerima suap sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308 ribu (sekitar Rp 3,6 miliar) untuk memberikan vonis bebas kepada Ronald Tannur dalam kasus kematian Dini Sera Afrianti. Jaksa menyatakan bahwa mereka menerima suap agar membebaskan Ronald dari segala tuntutan hukum.

“Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan, hakim yaitu Terdakwa Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul yang memeriksa dan memutus perkara pidana atas nama Gregorius Ronald Tannur, berdasarkan Penetapan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Surabaya Kelas IA Khusus Nomor 454/Pid.B/2024/PN Sby tanggal 5 Maret 2024, yang menerima hadiah atau janji, berupa uang tunai sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308 ribu,” ujar jaksa penuntut umum.

Kasus ini bermula dari kematian Dini Sera Afrianti, yang menyeret Ronald Tannur ke pengadilan. Ibunda Ronald, Meirizka Widjaja, kemudian meminta bantuan pengacara Lisa Rahmat untuk mengupayakan kebebasan anaknya. Lisa Rahmat lalu berkoordinasi dengan mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, untuk mencari hakim yang dapat memberikan putusan bebas bagi Ronald.

Setelah suap diberikan, Ronald akhirnya divonis bebas. Namun, belakangan terungkap bahwa putusan tersebut merupakan hasil transaksi suap. Jaksa kemudian mengajukan kasasi atas putusan tersebut, yang akhirnya dikabulkan Mahkamah Agung. Ronald kini telah divonis 5 tahun penjara.