Pernyataan anggota DPR Ahmad Dhani mengenai ide agar pemain sepak bola naturalisasi menikahi perempuan Indonesia berbuntut panjang. Ucapan tersebut menuai sorotan tajam dari Komnas Perempuan, yang menilai pernyataan itu mengandung unsur seksisme dan merendahkan martabat perempuan.
Namun, Ahmad Dhani justru menanggapi kritik itu dengan menyebut Komnas Perempuan mengadopsi nilai-nilai dari dunia Barat. Ia mempertanyakan dasar norma yang digunakan lembaga tersebut dalam menilai pernyataannya.
“Saya merasa Komnas Perempuan ini menjunjung tinggi norma-norma ke barat-baratan. Bukan norma perempuan, (melainkan) norma-norma ke barat-baratan, menurut saya pribadi,” ujar Ahmad Dhani dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) di Gedung DPR RI, Rabu (7/5).
Komnas Perempuan pun angkat bicara dan menegaskan bahwa pandangan dan langkah-langkah mereka berpijak pada dasar yang sangat lokal dan fundamental bagi bangsa: Pancasila. Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Yuni Asriyanti, lembaganya menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang berakar dari falsafah bangsa, bukan sekadar meniru nilai asing.
“Komnas Perempuan mengapresiasi kecepatan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam merespons pelanggaran etik yang dilakukan oleh anggota DPR Ahmad Dhani, ini bagian dari upaya untuk tidak menormalisasi pernyataan-pernyataan yang merendahkan dan melecehkan perempuan bahkan bernuansa rasis,” ujar Yuni dalam pernyataan tertulis, Jumat (9/5/2025).
Dalam keterangan lanjutan, Yuni menekankan bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial dalam Pancasila seharusnya menjadi fondasi moral dan etika dalam menjalankan kehidupan bernegara. Nilai ini tidak hanya ditulis dalam dokumen konstitusi, melainkan juga harus dihayati dalam tutur kata dan tindakan sehari-hari, termasuk oleh para pejabat publik.
“Komnas Perempuan mengingatkan bahwa Pancasila menempatkan kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai landasan moral dan etik kehidupan berbangsa,” imbuhnya.
Seksisme, lanjut Yuni, bukan sekadar istilah asing yang bisa diremehkan. Ia adalah simbol dari ketidaksetaraan gender yang masih membelenggu sebagian ruang sosial masyarakat, bagaikan bayang-bayang patriarki yang terus menguntit langkah perempuan.
“Seksisme, sebagai bentuk diskriminasi berbasis gender yang merendahkan, mengecualikan, atau merugikan perempuan hanya karena jenis kelaminnya, merupakan praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan amanat Konstitusi Republik Indonesia. Seksisme melemahkan prinsip-prinsip tersebut dengan mempertahankan ketimpangan gender dan menormalisasi perlakuan tidak setara terhadap perempuan,” katanya.
“Sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila dan hukum dasar negara, tidak ada tempat bagi seksisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan wajib memastikan ruang yang adil, setara, dan bebas dari diskriminasi bagi semua, termasuk perempuan dan kelompok rentan lainnya,” kata dia.
Sementara itu, MKD DPR RI telah memberikan sanksi ringan kepada Ahmad Dhani atas pernyataannya. Dalam sidang tersebut, Dhani menyampaikan permintaan maaf dan kembali menegaskan pendiriannya bahwa norma yang ia pegang adalah Pancasila, bukan norma yang menurutnya datang dari Barat.
“Ya itu kan dianggap melanggar ketika ada salah satu bagian daripada masyarakat yang merasa itu tidak patut. Seandainya ada masyarakat yang merasa dan menurut saya kan hanya satu yang merasa itu tidak patut, karena tidak sesuai dengan norma yang diyakininya. Komnas Perempuan merasa itu melanggar norma yang mereka yakini. Meskipun itu tidak dianggap bertentangan dengan Pancasila. Harusnya kan, bagi saya tetap norma itu adalah Pancasila,” kata Dhani.
“Bukannya saya sok pintar, Yang Mulia, seksis itu kan bahasa Inggris. Dan di dalam bahasa Indonesia pun nggak ada norma seksis. Atau gender juga bahasa Inggris. Maka dari itu saya tetap bertahan norma itu adalah Pancasila, bukan norma yang dihadirkan dari dunia barat,” tegasnya lagi.
Polemik ini membuka kembali diskusi publik tentang bagaimana pejabat publik memahami dan menggunakan nilai-nilai luhur bangsa. Di tengah era keterbukaan informasi, publik semakin kritis terhadap narasi-narasi yang menyentuh isu kesetaraan dan martabat manusia. Perdebatan ini bukan sekadar soal istilah asing atau lokal, melainkan soal bagaimana nilai-nilai dasar bangsa dimaknai dalam praktik nyata kehidupan bernegara.