Kejadian tak terduga menimpa Salim, Kepala Desa Mrawan di Kecamatan Mayang, Kabupaten Jember. Pada Senin petang, 19 Agustus, rumahnya dikerubungi oleh sejumlah warga yang marah dan kecewa akibat keputusan Salim melarang penggunaan sound horeg dalam karnaval 17 Agustusan. Peristiwa ini menggambarkan betapa besar pengaruh tradisi lokal dan harapan masyarakat terhadap perayaan tahunan tersebut.
Latar Belakang Kejadian
Karnaval 17 Agustusan adalah salah satu tradisi yang sangat dinantikan oleh warga Desa Mrawan. Tahun ini, banyak warga yang sudah merencanakan pawai musik dengan menggunakan sound horeg—sebuah sound system dengan kekuatan suara luar biasa yang biasanya digunakan dalam pawai musik untuk memeriahkan suasana.
Namun, penggunaan sound horeg ini tidak lepas dari kontroversi. Suara yang memekakkan telinga sering kali menimbulkan gangguan serius bagi warga, bahkan sampai pada titik di mana kaca jendela rumah pecah dan genteng rumah copot akibat getaran keras yang ditimbulkannya.
Kekecewaan Warga
Kekecewaan warga memuncak ketika Salim, sebagai Kepala Desa, memutuskan untuk melarang penggunaan sound horeg dalam karnaval tahun ini. Keputusan tersebut diambil karena tidak adanya izin dari pemerintah desa maupun kepolisian untuk menggunakan sound system dengan kekuatan suara di atas batas yang ditentukan. Larangan ini tidak hanya berlaku di Desa Mrawan, namun juga merupakan hasil dari sosialisasi oleh Pemerintah Kabupaten Jember dan Polres Jember terkait dengan penggunaan sound horeg yang berpotensi mengganggu kenyamanan lingkungan.
Abdur, salah satu warga yang terlibat dalam persiapan karnaval, menyatakan kekecewaannya. Ia dan beberapa warga lainnya sudah patungan untuk menyewa sound system Brewog yang terkenal dengan dentuman suaranya yang dahsyat. “Kami itu patungan untuk mendatangkan sound system Brewog dan sudah membayar uang muka Rp 2 juta. Sekarang ini hanya tinggal satu hari pelaksanaan, tapi tiba-tiba dibatalkan,” ujar Abdur.
Kedatangan Warga ke Rumah Kades
Kekecewaan ini kemudian memicu kemarahan sejumlah warga, yang akhirnya memutuskan untuk mendatangi rumah Salim. Mereka berharap agar larangan tersebut bisa dicabut, sehingga karnaval tetap bisa dilaksanakan sesuai rencana. Namun, Salim menjelaskan bahwa larangan tersebut tidak bisa diabaikan karena tidak ada izin dari Polres Jember. “Mau bagaimana lagi? tidak dapat izin dari Polres,” ungkap Salim kepada warga yang mendatanginya.
Salim menegaskan bahwa larangan ini sudah disosialisasikan jauh-jauh hari, dan merupakan langkah untuk menjaga ketertiban serta kenyamanan warga secara keseluruhan. Meskipun begitu, banyak warga yang tetap merasa kecewa karena persiapan yang sudah dilakukan menjadi sia-sia.
Refleksi dan Harapan
Kejadian ini menggarisbawahi betapa pentingnya komunikasi antara pemerintah desa dan warga dalam menyelenggarakan acara-acara tradisional. Di satu sisi, tradisi seperti karnaval 17 Agustusan sangat berarti bagi masyarakat, namun di sisi lain, kenyamanan dan ketertiban juga harus dijaga.
Diharapkan ke depannya, keputusan-keputusan seperti ini bisa lebih disosialisasikan sejak awal, sehingga warga tidak merasa dirugikan atau kecewa. Selain itu, ada baiknya jika alternatif solusi bisa ditemukan, seperti penggunaan sound system dengan kekuatan yang lebih terkendali, agar tradisi tetap bisa dilaksanakan tanpa mengganggu kenyamanan lingkungan sekitar.