Bareskrim Polri berhasil mengungkap skandal besar pencucian uang senilai Rp 2,1 triliun yang berasal dari peredaran ilegal narkotika jenis sabu, yang dikuasai oleh Hendra, lebih dikenal sebagai HS, seorang narapidana yang mendekam di Lapas Tarakan. Dalam pengungkapan kasus ini, total sembilan individu ditetapkan sebagai tersangka, termasuk HS, menandai langkah penting dalam pemberantasan sindikat narkoba dan praktik pencucian uang yang melibatkan aliran dana ilegal.
Kabareskrim Polri, Komjen Wahyu Widada, mengungkapkan bahwa HS tidak beroperasi sendirian dalam aksinya, melainkan menjalin kerjasama dengan sejumlah individu lainnya. Dalam sindikat ini, terdapat delapan orang yang berperan sebagai kaki tangan HS, termasuk T yang bertugas mengelola keuangan dari hasil kejahatan, serta MA dan S yang berfungsi sebagai pengelola aset yang diperoleh secara ilegal.
“CA dan AA membantu pencucian uang, NMY yang merupakan adik AA membantu pencucian uang, RO membantu pencucian uang dan upaya hukum, AY yang merupakan kakak RO membantu pencucian uang dan upaya hukum,” jelas Wahyu dalam jumpa pers di Lapangan Bhayangkara Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (18/9/2024).
Berikut adalah daftar sembilan tersangka beserta peran mereka dalam kasus pencucian uang ini:
- HS: Terpidana yang terlibat dalam kasus pencucian uang.
- T: Bertanggung jawab sebagai pengelola uang yang diperoleh dari kegiatan ilegal.
- MA: Mengelola aset yang didapatkan dari kejahatan.
- S: Juga berperan sebagai pengelola aset hasil kejahatan.
- CA: Membantu proses pencucian uang.
- AA: Terlibat dalam membantu pencucian uang.
- NMY: Adik dari tersangka AA yang juga membantu dalam pencucian uang.
- RO: Berkontribusi dalam pencucian uang serta berupaya melakukan langkah hukum.
- AY: Kakak dari RO yang ikut membantu dalam pencucian uang dan proses hukum.
Modus operandi yang digunakan dalam kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) ini melibatkan tiga tahapan yang dilakukan oleh HS untuk menyamarkan hasil kejahatannya. Pertama, HS menempatkan uang hasil kejahatan ke dalam rekening-rekening penampung yang terdaftar atas nama tersangka A dan M. Langkah ini bertujuan untuk mengaburkan asal-usul uang tersebut agar tidak terdeteksi oleh pihak berwenang.
Selanjutnya, tahap kedua yang dikenal sebagai pelapisan atau layering dilakukan dengan mentransfer dana dari rekening penampung ke rekening yang terdaftar atas nama T, MA, dan AM. Tahap terakhir adalah penyatuan, di mana uang dari rekening T, MA, dan AM digunakan untuk membeli berbagai aset, yang saat ini telah disita oleh Bareskrim.
“Nilai total aset sebesar Rp 221 miliar. Ini ada barang bukti yang terpampang pembelian dari hasil peredaran gelap narkoba,” kata Wahyu Widada.
Dikendalikan Napi
Dalam kesempatan yang sama, Wahyu mengungkapkan bahwa HS ditangkap dalam kasus narkotika pada tahun 2020 dan awalnya dijatuhi hukuman mati. Namun, setelah mengajukan banding, hukumannya kemudian diringankan menjadi 14 tahun penjara.
Meskipun menjalani hukuman, HS ternyata tetap mengontrol jaringan peredaran narkoba dari dalam penjara. Akibatnya, total aliran uang yang dihasilkan mencapai Rp 2,1 triliun.
“Dari hasil penyelidikan tersebut, terpidana atas nama H terindikasi masih melakukan pengendalian peredaran narkotika di wilayah Indonesia bagian tengah,” jelas mantan Kabaintelkam Polri itu.
“Terutama di wilayah Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi, Bali, dan Jawa Timur, yang selanjutnya ditingkatkan menjadi penyidikan dengan lahirnya laporan polisi tanggal 3 Mei 2024,” sambung dia.
Menurut Wahyu, terpidana HS telah aktif mengendalikan peredaran narkoba sejak 2017 hingga 2024, dengan total pengiriman sabu ke Indonesia mencapai 7 ton.
“Selama beroperasi, HS bekerja sama dengan jaringan dengan inisial F (DPO), untuk mengedarkan dan memasarkan narkoba sampai ke tingkat bawah,” pungkasnya.