Volkswagen mengumumkan bahwa mereka berada dalam keadaan kritis akibat persaingan yang semakin ketat dengan merek-merek baru yang muncul di pasar. Dalam kondisi yang memprihatinkan ini, pabrikan otomotif asal Jerman tersebut menghadapi ancaman penutupan pabrik untuk pertama kalinya dalam sejarahnya yang telah berlangsung selama 87 tahun. Seperti sebuah raksasa yang goyah, Volkswagen merasakan tekanan yang luar biasa untuk beradaptasi dengan perubahan industri yang cepat, dan keputusan ini mencerminkan tantangan besar yang harus dihadapi untuk mempertahankan keberlanjutan bisnisnya di tengah kompetisi yang sengit.
Dikutip dari CNN, CEO Volkswagen Group, Oliver Blume, menyatakan bahwa keputusan untuk menutup pabrik tidak bisa diabaikan. Dalam menghadapi tantangan yang ada, Volkswagen tengah mempertimbangkan opsi untuk menutup salah satu pabriknya di Jerman. Langkah ini diambil sebagai bagian dari strategi untuk merespons kondisi pasar yang semakin kompetitif dan untuk menjaga kelangsungan operasional perusahaan di tengah tekanan yang ada.
“Industri otomotif Eropa berada dalam situasi yang sangat menuntut dan serius,” kata CEO Grup Volkswagen Oliver Blume.
“Situasi ekonomi menjadi lebih kompleks, dan pesaing baru memasuki pasar Eropa. Jerman khususnya sebagai lokasi manufaktur semakin tertinggal dalam hal daya saing,” ungkap dia.
“Dalam situasi ini, kami sebagai perusahaan sekarang harus bertindak tegas,” tambahnya lagi.
Volkswagen telah memulai langkah pemangkasan biaya sebesar €10 miliar (setara dengan Rp 230 triliun) sejak akhir tahun lalu. Perusahaan otomotif ini menghadapi penurunan pangsa pasar di China, yang merupakan pasar terbesarnya. Selama paruh pertama tahun ini, pengiriman unit ke negara tersebut mengalami penurunan sebesar 7% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2023. Selain itu, keuntungan bersih operasional grup juga turun sebesar 11,4 persen, menunjukkan tantangan signifikan yang dihadapi Volkswagen dalam mempertahankan posisinya di pasar global yang semakin kompetitif.
Volkswagen tengah menghadapi tantangan serius akibat transisi menuju kendaraan listrik (EV) yang berlangsung lambat, serta penurunan permintaan dari konsumen di Eropa. Perusahaan ini juga mengalami kesulitan bersaing dengan merek-merek EV di China, terutama BYD, yang semakin menjadi ancaman bagi keberlangsungan bisnis Volkswagen di pasar Eropa. Keadaan ini menunjukkan bahwa Volkswagen perlu mempercepat adaptasi dan inovasi agar dapat mempertahankan posisinya di tengah perubahan industri yang cepat dan kompetitif.
“Langkah utama kami adalah pemotongan biaya,” kata Blume.
Salah satu langkah potensial yang mungkin diambil oleh Volkswagen adalah melakukan pemecatan massal. Hal ini disebabkan oleh rencana perusahaan untuk mengakhiri perjanjian perlindungan pekerjaan dengan serikat pekerja, yang telah berlaku sejak tahun 1994. Keputusan ini mencerminkan situasi sulit yang dihadapi Volkswagen dalam mengatasi tantangan finansial dan operasional, dan menimbulkan kekhawatiran tentang dampak sosial dari langkah tersebut bagi para karyawan dan komunitas sekitarnya.
Seperti yang tercatat, Volkswagen memiliki hampir 683.000 karyawan di seluruh dunia, dengan sekitar 295.000 di antaranya berada di Jerman, berdasarkan laporan pendapatan terbaru perusahaan. Angka ini menunjukkan betapa luasnya jaringan tenaga kerja yang dimiliki Volkswagen, yang berperan penting dalam operasi dan produksi kendaraan di berbagai lokasi. Namun, dengan kondisi yang semakin menantang, masa depan dari sejumlah besar karyawan ini menjadi perhatian utama.
Thomas Schaefer, CEO mobil penumpang Volkswagen, menegaskan bahwa perusahaan tetap berkomitmen untuk menjadikan Jerman sebagai pusat operasional bisnisnya. Ia juga menyampaikan bahwa Volkswagen akan segera memulai dialog dengan perwakilan karyawan untuk mengeksplorasi kemungkinan restrukturisasi merek secara berkelanjutan. Langkah ini diharapkan dapat membantu perusahaan beradaptasi dengan dinamika pasar yang terus berubah, sembari tetap menjaga keberlanjutan dan stabilitas di Jerman.
“Situasinya sangat tegang dan tidak dapat diselesaikan melalui langkah-langkah pemotongan biaya yang sederhana,” katanya.
Rencana pemotongan biaya yang diusulkan oleh Volkswagen kemungkinan akan menghadapi perlawanan yang kuat dari perwakilan tenaga kerja, yang menguasai hampir setengah kursi di dewan pengawas perusahaan. Keberadaan perwakilan ini memberikan suara yang signifikan dalam pengambilan keputusan, sehingga langkah-langkah yang berpotensi berdampak pada pekerjaan dan kondisi kerja karyawan harus diperhitungkan dengan cermat. Ketegangan antara kebutuhan perusahaan untuk beradaptasi dan melindungi kepentingan karyawan ini bisa menjadi tantangan tersendiri bagi Volkswagen dalam menjalankan strategi bisnisnya.
IG Metall, salah satu serikat pekerja terkuat di Jerman, pada hari Senin menyatakan bahwa masalah yang dihadapi perusahaan adalah hasil dari kesalahan manajemen. Serikat pekerja ini bersumpah untuk berjuang demi melindungi hak-hak pekerja di tengah situasi sulit yang sedang berlangsung. Komitmen IG Metall untuk membela kepentingan anggotanya menunjukkan bahwa mereka akan berupaya keras untuk memastikan bahwa keputusan perusahaan tidak merugikan kesejahteraan para karyawan, terutama dalam menghadapi tantangan yang kompleks dalam industri otomotif.
“Hari ini, dewan mempresentasikan rencana yang tidak bertanggung jawab yang mengguncang fondasi Volkswagen, secara besar-besaran mengancam pekerjaan dan lokasi,” kata pemimpin negosiator IG Metall Thorsten Groeger dalam sebuah pernyataan.
“Pendekatan ini tidak hanya berpandangan pendek tetapi juga sangat berbahaya, berisiko menghancurkan jantung Volkswagen… Kami tidak akan mentolerir rencana yang dibuat perusahaan dengan mengorbankan tenaga kerja,” tambahnya lagi.