Di Israel, para arkeolog telah mengidentifikasi kerikil berusia 12.000 tahun yang diduga sebagai salah satu bukti awal dari teknologi roda yang pernah ditemukan.
Penelitian yang dipublikasikan pada Rabu, 13 November 2024, di jurnal PLOS One, mengungkapkan bahwa kerikil-kerikil berbentuk donat ini kemungkinan besar berfungsi sebagai lingkaran poros. Sekitar 100 kerikil berlubang ini diyakini digunakan untuk memasukkan tongkat, yang mempermudah proses pemintalan tekstil menggunakan bahan seperti rami atau wol.
“Koleksi kumparan spindel ini merupakan contoh paling awal manusia menggunakan rotasi dengan alat berbentuk roda,” tulis para arkeolog dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Live Science.
Para peneliti menyatakan bahwa kumparan ini kemungkinan menjadi cikal bakal bagi teknologi rotasi yang lebih maju, seperti roda pembuat tembikar dan roda kereta. Inovasi tersebut diyakini memainkan peran krusial dalam kemajuan peradaban manusia pada masa awal.
“Meskipun kerikil berlubang tersebut sebagian besar tetap berada dalam bentuk alaminya yang tidak dimodifikasi, bentuk dan fungsinya menyerupai roda: objek bundar dengan lubang di tengahnya yang terhubung ke poros yang berputar,” tutur Talia Yashuv, mahasiswa pascasarjana di Hebrew University of Jerusalem’s Institute of Archaeology dan salah satu penulis makalah tersebut.
Mempelajari kerikil
Para arkeolog umumnya sepakat bahwa roda pertama kali diciptakan sekitar 6.000 tahun yang lalu, meski asal-usulnya tetap menjadi misteri. Untuk menyelidiki kemungkinan bahwa kerikil-kerikil tersebut merupakan bentuk awal “teknologi rotasi,” Yashuv dan rekan penulis studi, Leore Grosman, seorang profesor arkeologi prasejarah di Institute of Archaeology, melakukan analisis terhadap lebih dari 100 kerikil batu kapur berlubang. Kerikil-kerikil ini memiliki berat mulai dari 1 gram hingga 34 gram.
Kerikil-kerikil tersebut ditemukan dalam penggalian sebelumnya di situs yang dikenal oleh para arkeolog sebagai ‘Nahal Ein Gev II’. Terletak di Israel bagian utara, sekitar 2 kilometer di sebelah timur Laut Galilea, situs ini diperkirakan berasal dari sekitar 12.000 tahun yang lalu, sebelum masyarakat di wilayah tersebut mulai mengembangkan pertanian dalam skala besar.
Dengan menggunakan teknologi pemindaian 3D, tim arkeolog berhasil membuat model virtual yang sangat rinci dari kerikil tersebut. Pendekatan ini memungkinkan mereka untuk menganalisis kerikil dengan tingkat detail yang tidak dapat dicapai oleh pengamatan langsung. Dalam proses tersebut, mereka menemukan bahwa sebagian besar kerikil memiliki lubang yang dibor di tengahnya.
Tim arkeolog mengeksplorasi berbagai kemungkinan penggunaan kerikil tersebut, salah satunya adalah apakah kerikil itu bisa berfungsi sebagai manik-manik. Namun, hipotesis ini segera dieliminasi karena manik-manik biasanya diukir dengan bentuk yang lebih presisi, ringan, dan umumnya tidak lebih dari 2 gram. Oleh karena itu, kerikil tersebut tidak mungkin berfungsi sebagai manik-manik.
Peneliti juga mengevaluasi kemungkinan bahwa kerikil tersebut digunakan sebagai pemberat ikan, namun hipotesis ini terbantahkan. Mereka tidak menemukan bukti adanya pemberat ikan dari periode yang sangat awal, dan pemberat ikan yang lebih tua cenderung lebih besar serta terbuat dari bahan yang lebih berat daripada batu kapur yang ditemukan.
Untuk menguji apakah kerikil tersebut bisa digunakan sebagai gulungan benang, tim peneliti membuat replika yang akurat menggunakan teknologi pemindaian 3D. Mereka kemudian meminta Yonit Crystal, seorang ahli kerajinan tradisional, untuk mencoba memintal tekstil menggunakan replika tersebut.
Setelah beberapa latihan, Crystal berhasil memintal tekstil dengan efektif dan menemukan bahwa rami lebih mudah diproses dibandingkan wol. Berdasarkan temuan ini, tim peneliti menyimpulkan bahwa sebagian besar kerikil tersebut kemungkinan digunakan sebagai gulungan poros, yang merupakan bentuk awal dari teknologi roda dan poros.
Setelah beberapa latihan, Crystal berhasil memintal tekstil dengan efektif dan menemukan bahwa rami lebih mudah diproses dibandingkan wol. Berdasarkan temuan ini, tim peneliti menyimpulkan bahwa sebagian besar kerikil tersebut kemungkinan digunakan sebagai gulungan poros, yang merupakan bentuk awal dari teknologi roda dan poros.
Menurut Alex Joffe, seorang arkeolog yang berpengalaman dalam penelitian arkeologi prasejarah di wilayah tersebut dan juga menjabat sebagai direktur urusan strategis di Association for the Study of the Middle East and Africa, temuan ini memiliki signifikansi yang penting.
“Hasil eksperimen memang menunjukkan batu berlubang digunakan sebagai poros putar,” kata Joffe, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
“Kemungkinan besar rami dipintal dalam jumlah kecil untuk digunakan dalam teknologi baru lainnya seperti tas dan tali pancing, yaitu metode penyimpanan dan penghidupan baru,” kata Joffe.
“Jika gulungan spindel digunakan untuk menciptakan metode penyimpanan baru, maka implikasi teknologinya mungkin lebih besar daripada yang disarankan oleh para penulis,” kata Joffe.
Yorke Rowan, seorang profesor arkeologi di University of Chicago, juga memuji penelitian tersebut. “Menurut saya ini adalah analisis yang hebat, menyeluruh dan meyakinkan,” kata Rowan.
“Karena ini masih sangat awal, saya rasa penilaian bahwa ini adalah titik balik penting dalam pencapaian teknologi cukup beralasan,” kata Rowan.
Namun, Carole Cheval, seorang peneliti ahli tekstil prasejarah yang juga bekerja sebagai peneliti asosiasi di laboratorium arkeologi CEPAM (Cultures and Environment, Prehistory, Antiquity, Middle Ages) di Prancis, menekankan bahwa temuan ini bukanlah bukti paling awal dari teknologi serupa roda.
“Objek yang disajikan dalam artikel ini kemungkinan besar adalah pusaran spindel. Sesungguhnya, hipotesis ini bukan hipotesis asli dan objek serupa lainnya, beberapa di antaranya lebih tua, telah dipublikasikan,” ujarnya.