Energi Thorium: Harapan Baru atau Sekadar Ilusi? Ini Kata Ilmuwan BRIN - Beritakarya.id

Energi Thorium: Harapan Baru atau Sekadar Ilusi? Ini Kata Ilmuwan BRIN

Penemuan cadangan thorium dalam jumlah besar di China telah memicu harapan akan sumber energi yang nyaris tak terbatas. Para ahli geologi di Beijing bahkan mengklaim bahwa unsur ini berpotensi menjadi energi ‘abadi’ bagi negaranya. Namun, sebagaimana halnya dengan setiap teknologi baru, pemanfaatan thorium juga menghadapi berbagai tantangan yang perlu diatasi.

Sejalan dengan perkembangan ini, para peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) turut mengkaji lebih dalam mengenai potensi thorium sebagai bahan bakar nuklir. Mereka berupaya membandingkan keunggulan unsur ini dengan bahan bakar konvensional yang telah digunakan dalam reaktor nuklir saat ini.

Pada ajang International Atomic Energy Agency Scientific Forum bertajuk Nuclear Innovation for Net Zero di Wina, Austria, tahun 2023, Nuri Trianti, peneliti dari Pusat Riset Teknologi Reaktor Nuklir (PRTRN) BRIN, sempat memaparkan hasil risetnya terkait siklus bahan bakar berbasis thorium, kelebihan yang ditawarkan, serta hambatan yang masih harus dihadapi.

“Potensi tersebut di antaranya, thorium diyakini memiliki cadangan di alam sekitar tiga kali lebih banyak dari uranium, memiliki sifat termofisika yang menguntungkan, keunggulan sifat neutronik yaitu memiliki kemampuan absorpsi neutron termal sekitar tiga kali lipat dibandingkan uranium, dan thorium juga secara umum dinilai memiliki resistansi proliferasi yang lebih baik,” jelasnya, seperti dikutip detikINET dari siaran pers di situs resmi BRIN, Kamis (6/3/2025).

Namun, pemanfaatan thorium dalam skala besar masih dihadapkan pada berbagai kendala, baik dari sisi pengolahan bahan baku hingga penerapannya dalam reaktor nuklir. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan infrastruktur yang tersedia untuk mengembangkan dan menguji performa reaktor berbasis thorium. Hingga saat ini, kebanyakan reaktor masih mengandalkan bahan bakar uranium yang infrastrukturnya telah mapan.

Selain itu, biaya produksi thorium juga masih tergolong tinggi. “Dari sudut pandang ekonomi, thorium masih memiliki biaya yang tinggi karena permintaan terhadap mineral thorium sebagai produk utama masih rendah,” ungkap Nuri.

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa agar thorium dapat digunakan secara optimal, seluruh siklus bahan bakarnya harus dikelola dengan baik, mulai dari proses ekstraksi mineral, fabrikasi menjadi pellet atau microspheres, hingga aspek keselamatan dan pengelolaan limbah nuklir.

Dalam hal teknologi reaktor, inovasi rendah karbon kini tengah diarahkan pada pengembangan reaktor generasi baru yang lebih efisien untuk bahan bakar thorium. Dua teknologi yang dianggap paling prospektif adalah Molten Salt Reactor (MSR) serta Small Modular Reactor (SMR).

“SMR memiliki karakteristik mengalami poisoned pada siklus awal bahan bakar (beginning of cycle), sehingga thorium dapat dimanfaatkan sebagai penyerap pada siklus awal dan juga digunakan sebagai material fertile selama siklus berlangsung,” papar Nuri.

Di forum yang sama, Rohadi Awaludin, Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset Teknologi Radioisotop, Radiofarmaka, dan Biodosimeteri (PRTRRB) BRIN yang saat itu menjabat sebagai Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN) BRIN, menegaskan pentingnya peran Indonesia dalam upaya global untuk mengurangi dampak perubahan iklim.

“Pada forum ini, para pakar dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, menyoroti peran dari reaktor nuklir yang mutakhir dengan teknologi rendah karbon untuk mitigasi perubahan iklim dunia,” kata Rohadi.

Sebagai bagian dari komitmennya terhadap pengurangan emisi karbon, Indonesia telah menetapkan target untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Untuk mewujudkan target tersebut, dibutuhkan berbagai teknologi energi rendah karbon, termasuk nuklir dan energi terbarukan berbasis thorium.

Dengan terus berkembangnya penelitian dan inovasi di bidang ini, thorium memiliki potensi besar untuk menjadi bagian penting dalam transisi energi masa depan. Namun, masih diperlukan kerja sama lintas sektor serta investasi yang signifikan untuk mengatasi hambatan yang ada dan menjadikannya sebagai sumber energi yang benar-benar berkelanjutan.