Lebih dari seabad berlalu sejak tragedi Titanic pada tahun 1912, namun hingga kini kapal legendaris itu masih terbaring diam di dasar Samudra Atlantik. Lokasinya baru ditemukan pada tahun 1985, setelah puluhan tahun menjadi misteri. Lalu, apa yang membuat bangkai kapal ini tak pernah dibawa ke permukaan meski teknologi semakin canggih?
Ternyata, keinginan untuk mengangkat Titanic sempat mencuat dari berbagai kalangan. Namun, terdapat sejumlah faktor kuat yang membuat upaya tersebut nyaris mustahil, bahkan dianggap tidak etis.
- Titanic Dianggap Sebagai Tempat Peristirahatan Terakhir
Tragedi Titanic menelan korban jiwa yang sangat besar. Sekitar 1.500 penumpang dan awak kapal kehilangan nyawa dalam kecelakaan itu. Dari jumlah tersebut, lebih dari 300 jenazah berhasil ditemukan. Sementara itu, korban lainnya kemungkinan besar terbawa arus laut dalam atau ikut tenggelam bersama badan kapal dan tidak pernah ditemukan.
Oleh karena itu, lokasi karamnya Titanic kini dihormati sebagai lokasi memorial. Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris telah bersepakat untuk tidak mengutak-atik bangkai kapal demi menghormati para korban.
“NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) mengakui situs bangkai Titanic sebagai memorial maritim,” sebut NOAA.
Dengan status tersebut, kawasan tempat Titanic tenggelam diperlakukan seperti makam besar di bawah laut—bukan objek eksplorasi atau hiburan.
Pada tahun 2020, RMS Titanic Inc., pemegang hak eksplorasi terhadap bangkai kapal tersebut, sempat berencana mengambil radio komunikasi darurat dari dalam kapal. Namun, ide itu menimbulkan kontroversi karena dikhawatirkan akan mengusik sisa-sisa jenazah yang masih mungkin berada di sana.
Bagi banyak keluarga korban, Titanic bukan sekadar kapal tua, tapi simbol kehilangan yang dalam. Bahkan, penyintas Titanic, Eva Hart, pada 1987 menyamakan mereka yang mengganggu lokasi itu dengan “bajak laut dan burung bangkai”.
- Kerusakan Fisik yang Kian Parah
Dibangun dengan pelat baja setebal sekitar 2,5 cm, Titanic dahulu adalah simbol kemajuan industri. Namun setelah lebih dari 100 tahun berada di kedalaman laut, tubuh megah kapal itu kini nyaris tak lagi utuh.
Proses pelapukan yang terjadi terus-menerus dipicu oleh kehadiran mikroorganisme bernama Halomonas titanicae. Bakteri ini mengkonsumsi unsur besi dan sulfur dari struktur kapal, lalu menghasilkan formasi menyerupai stalaktit yang disebut rusticles. Meskipun tampak kokoh, formasi tersebut sebenarnya sangat rapuh, ibarat pasir yang mudah hancur saat disentuh.
Selain itu, arus laut yang deras dan korosi dari air asin memperparah kondisi bangkai kapal. Bahkan banyak bagian Titanic kini hanya tinggal kerangka yang mudah hancur saat disentuh.
- Biaya Pengangkatan yang Fantastis
Mimpi untuk mengangkat Titanic ke permukaan sudah ada sejak tahun 1914, dua tahun setelah kapal tenggelam. Seorang insinyur bernama Charles Smith kala itu merancang sistem pengangkatan dengan kabel elektromagnetik yang akan menarik kapal secara perlahan menggunakan mesin uap dan derek. Sayangnya, gagasan itu tidak pernah terwujud karena keterbatasan dana dan teknologi.
Jika dihitung dengan nilai mata uang sekarang, biaya pengangkatan Titanic bisa menembus USD 45 juta atau setara dengan sekitar Rp 676 miliar. Bandingkan dengan pengangkatan kapal pesiar Costa Concordia pada tahun 2013 yang memerlukan dana hingga USD 800 juta—padahal kapal tersebut hanya setengah tenggelam.
Berbeda dari Costa Concordia, Titanic terletak di kedalaman hampir 4.000 meter, jauh di dasar laut Atlantik Utara. Kedalaman ini membuat proses pengangkatan bukan hanya mahal, tapi juga sangat kompleks dari sisi teknis.
Dengan pertimbangan nilai historis, etika, kondisi fisik bangkai, dan biaya luar biasa besar, wajar jika Titanic dibiarkan tetap berada di tempat peristirahatannya yang sunyi di dasar samudra—sebuah monumen abadi untuk tragedi kemanusiaan terbesar di awal abad ke-20.