Kota Bogor kembali diguncang gempa pada Kamis malam (10/4), sekitar pukul 22.16 WIB. Guncangan dengan magnitudo 4,1 itu menggoyang wilayah Jawa Barat dan dirasakan cukup kuat oleh warga di sekitar Bogor dan Depok. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengonfirmasi bahwa sumber gempa berasal dari pergerakan Sesar Citarik.
“Hasil analisis mekanisme sumber gempa oleh BMKG menunjukkan bahwa Gempa Bogor memiliki mekanisme geser (strike-slip). Episenter gempa Bogor terletak pada jalur Sesar Citarik yang memiliki mekanisme geser mengiri,” kata Direktur Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono dikutip dari keterangan tertulis, Jumat (11/4/2025).
Menurut catatan dari sensor seismik di stasiun DBJI (Darmaga) dan CBJI (Citeko), gelombang yang terekam menunjukkan pola khas gempa tektonik, dengan gelombang S (Shear) yang dominan dan berfrekuensi tinggi. Ini menandakan adanya pelepasan energi yang tajam dan cepat akibat tekanan yang terkumpul dalam lempeng bumi.
Getaran gempa terasa cukup luas hingga menjangkau Kabupaten Bogor, Kota Bogor, bahkan menyentuh wilayah Kota Depok. Intensitas guncangan diperkirakan mencapai level III hingga IV pada Skala MMI (Modified Mercalli Intensity), yang mengindikasikan getaran dirasakan oleh banyak orang dan mampu menyebabkan kerusakan ringan pada bangunan.
Tak hanya gemetarannya yang mengejutkan, dentuman keras yang menyertai gempa membuat sebagian warga semakin panik. Fenomena suara menggelegar itu cukup menyita perhatian dan menjadi perbincangan luas di tengah masyarakat.
“Suara tersebut muncul karena getaran frekuensi tinggi dekat permukaan, sekaligus sebagai bukti bahwa gempa yang terjadi memiliki kedalaman hiposenter sangat dangkal. Semua gempa sangat dangkal disertai dengan suara ledakan, dentuman dan gemuruh,” ungkapnya.
Sesar Citarik: Retakan Sunyi yang Menyimpan Potensi
Sesar Citarik adalah jalur retakan sepanjang sekitar 250 kilometer yang membelah bagian barat Pulau Jawa, mulai dari wilayah Pelabuhan Ratu hingga ke Bekasi, melintasi Bogor di tengah perjalanannya. Patahan ini tergolong dalam tipe sesar geser mengiri (left-lateral strike-slip), yaitu pergerakan dua lempeng yang bergesekan secara horizontal ke arah berlawanan.
Mengutip catatan ilmiah dari Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral, karya Sidarto dari Pusat Survei Geologi, Sesar Citarik sudah aktif sejak zaman Miosen Tengah—sekitar 15 juta tahun silam. Awalnya sesar ini terbentuk sebagai sesar transtensional, di mana dua lempeng bumi menjauh satu sama lain, menciptakan celah untuk kerak bumi baru terbentuk. Namun seiring waktu, khususnya sejak era Plio-Pleistosen (5 juta tahun lalu), pergerakannya berubah menjadi saling menggesek secara horizontal.
Sesar Citarik terbagi dalam tiga segmen utama—selatan, tengah, dan utara—masing-masing dengan sifat dan potensi pergerakan yang berbeda-beda. Walaupun tidak tergolong sangat aktif seperti beberapa sesar lainnya di Indonesia, riwayat aktivitasnya menunjukkan bahwa retakan ini tetap menyimpan potensi bencana. Beberapa gempa tercatat berasal dari sesar ini, termasuk pada Maret 2020 dan Desember 2023. Bahkan, diduga kuat sesar ini juga terlibat dalam gempa besar berkekuatan M 7,0 yang mengguncang wilayah pada tahun 1833.
Ancaman di Balik Kedekatan Geografis
Yang membuat Sesar Citarik menjadi perhatian adalah lokasinya yang berdekatan dengan kawasan padat penduduk, termasuk Jakarta, Bogor, hingga Bandung. Tanah lunak di wilayah utara sesar, seperti Jakarta dan sebagian Bandung, bisa memperbesar efek getaran saat gempa terjadi. Guncangan bisa teramplifikasi, membuat dampak gempa terasa lebih kuat dari pusatnya.
Fenomena ini mengingatkan kita bahwa di balik keheningan tanah yang kita pijak, tersimpan kekuatan geologis yang bisa meledak sewaktu-waktu. Sesar Citarik, seperti urat nadi bumi yang sesekali berdenyut kuat, menjadi pengingat bahwa kita hidup di atas lempeng-lempeng raksasa yang terus bergerak.