Fenomena luar biasa terungkap dari sudut-sudut paling terpencil di Tata Surya. Para ilmuwan mendapati bahwa permukaan dalam planet Merkurius, di bawah tekanan dan suhu ekstrem, berpotensi menjadi lahan alami tempat karbon berubah menjadi berlian. Sementara itu, dua raksasa es di pinggiran Tata Surya—Neptunus dan Uranus—menyuguhkan keajaiban lain: turunnya butiran intan dari langit, bukan sebagai dongeng, tetapi sebagai kenyataan ilmiah.
Sebagai planet yang dikategorikan dalam kelompok “ice giants” atau raksasa es, Neptunus dan Uranus menyimpan lapisan luar yang sarat dengan elemen ringan seperti hidrogen dan helium. Campuran ini ditambah dengan keberadaan metana di atmosfer mereka menyebabkan keduanya menampilkan rona kebiruan khas. Warna ini tak hanya memperindah tampilan mereka, tetapi juga mengindikasikan adanya senyawa beku di kedalaman planet.
Kemungkinan turunnya hujan berlian di planet tersebut bukan lagi sekadar imajinasi. Berdasarkan temuan ilmiah terbaru, fenomena ini sangat mungkin terjadi. Di balik lapisan es dan gas itu, suhu tinggi dan tekanan dahsyat mampu mengurai molekul hidrokarbon. Ketika karbon terlepas dari senyawa asalnya, ia mengalami pemadatan luar biasa dan berubah menjadi kristal berlian yang kemudian perlahan tenggelam ke arah pusat gravitasi planet—seolah menjadi air hujan yang jatuh ke samudra terdalam, namun dalam bentuk paling mewah: intan.
Penemuan ini berasal dari eksperimen yang dilakukan menggunakan fasilitas sinar-X supercepat di SLAC National Accelerator Laboratory, tepatnya melalui LINAC Coherent Light Source (LCLS). Dengan alat canggih ini, para peneliti mampu meniru kondisi ekstrim yang terjadi di dalam raksasa es.
“Kami memiliki pendekatan baru yang sangat menjanjikan berdasarkan hamburan sinar-X,” kata fisikawan Dominik Kraus dari Helmholtz-Zentrum Dresden-Rossendorf di Jerman yang memimpin penelitian tersebut, dikutip dari Tech Times.
Lebih lanjut, Kraus mengungkapkan bahwa pendekatan ini memberikan informasi model yang jauh lebih akurat dibanding sebelumnya, mengingat sebelumnya para peneliti hanya memiliki asumsi yang sangat terbatas.
“Dalam kasus raksasa es ini, kita sekarang tahu bahwa senyawa karbon hampir secara eksklusif membentuk berlian ketika terpisah dan tidak mengambil bentuk transisi fluida,” tambah Kraus.
Namun, meskipun penemuan ini terdengar menggiurkan—terutama bagi para pemburu batu mulia—kenyataan membawa kita kembali ke batas realitas. Mengunjungi Neptunus atau Uranus untuk menyaksikan hujan berlian secara langsung masih jauh dari jangkauan kemampuan teknologi kita saat ini.
Referensi utama umat manusia tentang planet Neptunus berasal dari misi Voyager 2 pada tahun 1989—misi yang hingga kini dianggap sebagai tonggak emas dalam eksplorasi planet luar. Bahkan, Neptunus yang berjarak lebih dari 30 kali lipat jarak Bumi ke Matahari ini tak bisa dilihat tanpa bantuan teleskop.
Sementara itu, Uranus masih menjadi planet misterius yang belum pernah disambangi oleh wahana antariksa mana pun. Oleh karena itu, meskipun kita bisa membayangkan kilauan intan yang mengguyur atmosfer planet tersebut, untuk saat ini, keindahannya hanya bisa kita nikmati melalui lensa ilmu pengetahuan dan imajinasi.