Trump Sebut COVID-19 Bocor dari Lab China, Ilmuwan Punya Pandangan Berbeda - Beritakarya.id

Trump Sebut COVID-19 Bocor dari Lab China, Ilmuwan Punya Pandangan Berbeda

Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali memantik perdebatan seputar asal-usul virus corona. Ia mengindikasikan bahwa COVID-19 berakar dari kebocoran laboratorium di China. Namun, hal ini bertolak belakang dengan hasil riset ilmiah terbaru yang menyebut bahwa virus tersebut berasal dari transmisi alami antar spesies.

Studi terkini yang dimuat dalam jurnal ilmiah Cell justru mengungkap bahwa virus penyebab pandemi global itu berasal dari perpindahan virus dari hewan ke manusia — proses yang dalam dunia biologi dikenal sebagai spillover zoonotik. Artinya, virus melompat dari satu spesies ke spesies lain, biasanya melalui kontak yang erat, seperti yang terjadi dalam pasar hewan atau melalui rantai makanan liar.

Dikutip dari laman IFLScience, analisis terhadap susunan genetik virus mengarah pada kesimpulan bahwa nenek moyang SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19, kemungkinan besar berasal dari kawasan pegunungan di China Barat atau wilayah utara Laos. Dari sana, virus ini melakukan perjalanan ribuan kilometer menuju wilayah tengah China, tempat kasus pertama COVID-19 terdeteksi. Perjalanan virus ini digambarkan layaknya aliran sungai yang merambat tanpa terlihat sebelum akhirnya menyembur menjadi badai pandemi.

Virus tersebut merupakan salah satu varian dari keluarga besar virus pernapasan yang disebut sarbecovirus, mayoritasnya ditemukan pada kelelawar tapal kuda. Keluarga virus ini juga termasuk virus penyebab wabah SARS pada awal 2000-an, yang dikenal sebagai SARS-CoV-1.

Menariknya, meskipun virus-virus ini hidup dalam tubuh kelelawar tanpa menyebabkan sakit, mereka bisa berubah menjadi ancaman saat menyebar ke manusia. Proses peralihan ini menyerupai transisi senyap sebelum letusan besar, yang kadang tak terdeteksi hingga terlalu terlambat.

Untuk menggali lebih dalam sejarah asal muasal virus ini, Joel Wertheim, profesor kedokteran dari UC San Diego School of Medicine, bersama timnya, melakukan telaah mendalam terhadap urutan genom dari SARS-CoV-1 dan SARS-CoV-2. Melalui pendekatan ini, mereka menyusun kembali garis keturunan evolusi virus tersebut yang melintasi berbagai kawasan di Asia.

“Ketika dua virus yang berbeda menginfeksi kelelawar yang sama, terkadang apa yang keluar dari kelelawar tersebut merupakan campuran dari berbagai bagian virus,” jelas Wertheim dalam sebuah pernyataan.
“Rekombinasi mempersulit pemahaman kita tentang evolusi virus-virus ini karena hal ini mengakibatkan bagian-bagian genom yang berbeda memiliki sejarah evolusi yang berbeda,” imbuhnya.

Untuk menghindari kekacauan akibat pencampuran genetik ini, para ilmuwan hanya memanfaatkan bagian-bagian dari genom virus yang tidak mengalami rekombinasi. Dengan begitu, mereka dapat membangun semacam silsilah keluarga virus, yang menggambarkan bagaimana garis keturunan virus sarbeco menyebar dari satu lokasi ke lokasi lain seiring waktu.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa virus sarbeco telah menjelajahi berbagai penjuru China bagian barat hingga Asia Tenggara selama ribuan tahun, mengikuti pergerakan alami kelelawar yang menjadi tempat tinggal alaminya.

“Pada awal pandemi COVID-19, ada kekhawatiran bahwa jarak antara Wuhan dan reservoir virus kelelawar terlalu ekstrem untuk asal usul zoonosis. Makalah ini menunjukkan bahwa hal itu tidaklah aneh dan, pada kenyataannya, sangat mirip dengan munculnya Sars-CoV-1 pada tahun 2002,” tegas peneliti.

Fenomena seperti SARS dan COVID-19 merupakan contoh nyata dari limpahan virus antar spesies yang makin sering terjadi seiring meningkatnya interaksi manusia dengan satwa liar. Aktivitas seperti perdagangan hewan eksotis, perluasan kota ke wilayah alami, hingga penggundulan hutan memperbesar peluang virus untuk menjangkau inang baru.

Para ilmuwan menyimpulkan bahwa pemantauan intensif terhadap peredaran virus sarbeco di habitat asli kelelawar bisa menjadi semacam sistem peringatan dini. Dengan memahami jejak evolusi virus ini, umat manusia bisa lebih siap dalam menghadapi kemungkinan pandemi baru di masa depan.