Opini  

Renungan Hari Lahir Pancasila: “Saya Pancasilais”

Moch Nasir/beritakarya.co.id
Oleh: Moch. Nasir.
Pancasila itu tidak dilahirkan, tapi sudah ada sejak adanya kehidupan bangsa Indonesia. Ir Soekarno berhasil menggali nilai nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, kemudian dirumuskan bersama menjadi Pancasila Dasar berdirinya Negara Republik Indonesia
Berbagai rongrongan dan tantangan yang ingin mengganti Pancasila sebagai Idiologi Bangsa, tidak pernah berhasil. Pancasila tetap berdiri kokoh sehingga kemudian lahirlah apa yang dinamakan dengan “Hari Kesaktian Pancasila”.
Perdebatan tentang kapan Pancasila lahir bukanlah hal yang penting, yang paling utama adalah bagaimana rakyat Indonesia bisa menghayati, dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk bisa menghayati dan mengamalkan Pancasila, tidaklah mudah karena diperlukan pemahaman yang konferhensip tentang apa yang terkandung dalam 5 Sila seperti yang digambarkan dalam Lambang Negara Burung Garuda.
Pandangan seperti ini telah melekat selama kepemimpinan orde baru, makanya wajar jika kemudian Orde Baru tidak mau menetapkan kapan Hari Lahir Pancasila. Untuk memantapkan pandangan seperti itu, Orde Baru kemudian membuat suatu program terstruktur dan sistematis baik secara institusional maupun fungsional.
Untuk melaksanakan gerakan tersebut dibentuk sebuah lembaga agar Pancasila membumi di Negeri loh Jinawi yakni BP7  (Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang bertugas melaksanakan Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dengan sasaran seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Sejarah mencatat bahwa Orde Baru kemudian tumbang, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatan Presiden pada 21 Mei 1998 setelah adanya tekanan massa yang luar biasa. Seiring dengan lengsernya Soeharto, lahir Era Reformasi dengan berbagai gejolak dan ragam politik didalamnya, dalam Era Reformasi banyak produk produk Orde Baru yang dihapuskan, salah satunya adalah dibubarkannya BP7  dan Penataran P4.
Selama pergantian kepemimpinan nasional di era Reformasi tidak ada Presiden yang berani menetapkan  Hari Lahirnya Pancasila, bisa jadi (mungkin) ketiga Presiden kala itu yakni Habibie, Abdurrahman Wahid termasuk Megawati Soekarnoputri, lebih sibuk memikirkan politik pembangunan dan kegaduhan politik ketimbang berpikir soal pentingnya hari lahir Pancasila.
Satu tahun belakangan ini bangsa Indonesia telah mengenal dan mengetahui adanya hari lahir Pancasila karena Presiden Joko Widodo pada tanggal 1 Juni 2016 menetapkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila sekaligus sebagai Hari Libur Nasional, luar biasa!.
Orang boleh berdebat, mengapa bukan 22 Juni, mengapa bukan 18 Agustus 1945 yang dijadikan sebagai hari lahir Pancasila, hal itu lumrah saja terjadi karena masing-masing punya sudut pandang, tetapi menurut saya tepatlah kalau 1 Juni 1945 itu ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila tersebab pada hari itu Bung Karno  menyebut istilah/nama PANCASILA sebagai Dasar Negara dalam sidang BPUPKI.
Bung Karno antara lain bilang begini;
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya menamakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa (Muhammad Yamin) namanya Pancasila. Sila artinya asas atau dasar dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia kekal dan abadi,”
Penetapan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila, diharapkan masyarakat betul betul memaknai Pancasila sebagai perekat dari Kebhinekaan yang nyata nyata mewarnai seluruh aspek kehidupan, jangan sampai kehidupan berbangsa ini bercerai berai karena berbagai kepentingan yang mengarah pada munculnya sikap intoleransi.
Kurang lebih satu tahun setelah Presiden Joko Widodo menetapkan Hari lahir Pancasila, ternyata ke-Indonesiaan yang bertumpu pada “Bhinneka Tunggal Ika”, tidak seperti yang diharapkan. Kegaduhan mewarnai kehidupan bangsa ini, Bhinneka Tunggal Ika terusik oleh beberapa peristiwa atau kejadian yang sangat menghawatirkan nilai nilai persatuan dan Kesatuan bangsa.
Dimana mana tumbuh sikap saling curiga, saling fitnah. Semua ini terpicu dengan adanya kasus hukum yang menimpa Ahok.  Saat itu Ahok menjadi pesakitan sebagai  terdakwa Penistaan Agama di Pengadilan Negeri Jakarta Utara berbarengan dengan statusnya sebagai Calon Gubernur DKI pada Pilkada 2017 yang ahirnya Ahok dihukum penjara selama 2 tahun karena terbukti telah melakukan perbuatan pidana yang melanggar pasal 156 a KUHP.
Kasus Ahok ini ternyata punya efek domino yang sangat luas,  yakni munculnya klaim klaim tertentu yang mengarah pada perpecahan, fenomena lapor melapor menjadi sesuatu yang banyak dipertontonkan ke publik, siapa yang dianggap memfitnah, menodai atau menyebar kebencian, dengan mudahnya dilaporkan oleh komunitas tertentu.
Kita telah dipertontonkan tentang kegaduhan negara akibat adanya klaim klaim tertentu, kelompok yang kontra Ahok, dicap sebagai kelompok anti Pancasila, anti NKRI, anti Kebhinnekaan, sementara pihak yang pro Ahok telah menjustafikasi sebagai kelompok Pancasilais, pendukung NKRI.
Bahkan di antara kelompok ini ada yang bertindak kebablasan, mengaku sebagai Pancasilais dan pendukung NKRI, tapi justru akan memisahkan diri dari NKRI jika Ahok tidak dibebaskan, sebuah sikap yang menunjukkan adanya dis-integrasi bangsa.
Pertanyaannya kemudian, mengapa hal ini terjadi setelah Presiden Joko Widodo menetapkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahirnya Pancasila, padahal ketika masih ada BP7 dan Penataran P4, tidak pernah ada kegaduhan yang ditimbulkan akibat adanya kasus yang sama dengan Ahok. Harus diakui bahwa ketika zaman adanya Penataran P4, sejenak harmoni bangsa saat itu bisa terlihat, toleransi kehidupan berbangsapun bisa dirasakan.
Apa yang pernah saya alami selama 146 jam duduk mempelajari hal hil hul yang berkaitan dengan Pancasila termasuk sejarah berdirinya Negara ini dalam Penataran P4 beberapa puluh tahun lalu, telah menyadarkan tentang arti pentingnya Persatuan dan Kesatuan, Kebhinekaan bisa diterima dengan baik karena diajarkan untuk menghayati kandungan Pancasila.
Jadi untuk memperoleh label “Pancasilais secara formal” dulu harus berkantuk kantuk hingga pantat terasa bantat melalui Penataran, selesai Penataran ada label bahwa “Saya Pancasilais”.
Saat ini sulit rasanya memberikan pemahaman maupun penghayatan Pancasila kepada rakyat karena tidak ada lembaga husus yang bertugas untuk itu. Dampaknya, orang dengan mudah mengklaim bahwa saya adalah Pancasilais, sedangkan kamu anti Pancasila.
Orang dengan mudah mengaku Pendukung NKRI dengan ancaman akan keluar dari NKRI jika keinginannya tidak dipenuhi. Jadi saat ini, untuk menjadi seorang Pancasilais sangat mudah, cukup membawa poster, mengaku bahwa “Saya Pancasilais”.
Tidak bisa dinafikkan, Penataran P4 yang dilaksanakan rezim Orde Baru punya manfaat dalam konteks pemahaman dan Penghayatan Pancasila termasuk sejarah yang melingkupinya, tetapi tidak bisa dibantah pula bahwa didalamnya terselubung misi secara politis dalam rangka menguatkan ‘’kelanggengan’’ rezim Orde Baru sehingga muncul tuduhan terjadi penyimpangan yang berbau indoktrinasi terhadap peran Orde Lama yang telah menyelewengkan Pancasila, sementara Orde Baru adalah penyelamat karena adanya penyelewangan diatas.
Oleh karena itu, demi untuk menjaga persatuan dan kesatuan, sudah saatnya negara hadir sebagai institusi yang bertanggung untuk meredam kegaduhan yang bernuansa SARA dan menjurus dis-integrasi bangsa.
Penangannya tidak cukup hanya mengumpulkan elite politik/ormas di pusat kekuasaan/Istana, tapi diperlukan suatu lembaga husus model BP7 dan mengadakan pembelajaran yang sistematis kepada rakyat meskipun dalam format yang berbeda dengan Penataran P4, agar rakyat bisa memahami, menghayati dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, sehingga orang Indonesia bisa mengaku “Saya Pancasilais” karena saya memahami, menghayati dan mengamalkan Pancasila, bukan karena klaim kelompok.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *