Di balik setiap perangkat iPhone yang beredar di seluruh penjuru dunia, terdapat tulisan kecil yang menyebutkan bahwa perangkat tersebut “dirancang di California.” Namun kenyataan di balik kalimat tersebut menyimpan ironi: meskipun otaknya lahir di Amerika Serikat, sebagian besar iPhone justru lahir secara fisik di China — negara yang sempat menjadi sasaran utama kebijakan dagang keras dari mantan Presiden AS, Donald Trump.
Tarif impor yang diterapkan Trump bahkan sempat melonjak hingga 245% untuk sejumlah barang masuk, dan China termasuk pihak yang paling terdampak. Namun untungnya, dalam langkah yang mengejutkan, Trump memutuskan membebaskan produk-produk seperti smartphone, laptop, dan peralatan elektronik lainnya dari lonjakan tarif tersebut — meskipun sinyal untuk mengaktifkannya kembali tetap ada.
Apple sendiri menjajakan lebih dari 220 juta unit iPhone setiap tahunnya. Dari angka itu, sekitar 90% perangkat iPhone berasal dari jalur perakitan di China. Negeri Tirai Bambu ini bukan hanya tempat perakitan akhir, tetapi juga lokasi di mana berbagai komponen penting—seperti layar dan baterai—dirakit menjadi satu tubuh utuh iPhone, iPad, dan MacBook sebelum dikapalkan ke pasar global, khususnya Amerika Serikat sebagai konsumen utama.
Langkah Apple ke China tak terjadi dalam semalam. Awalnya, raksasa teknologi ini merambah pasar China pada 1990-an melalui distributor pihak ketiga untuk menjajakan komputer. Namun krisis yang melanda Apple sekitar tahun 1997 menjadi titik balik. Di tengah situasi yang nyaris menyeret perusahaan ke jurang kebangkrutan, Apple melihat peluang besar di China—yang saat itu tengah membuka pintu bagi investasi asing demi mendorong industrialisasi dan penciptaan lapangan kerja.
Namun Apple baru secara resmi menancapkan kaki di daratan China pada tahun 2001. Kemitraan pun terjalin dengan Foxconn, sebuah perusahaan manufaktur asal Taiwan, untuk memproduksi produk-produk seperti iPod dan iMac—dan kelak, si primadona: iPhone.
Meski pada awalnya China dinilai belum sepenuhnya siap untuk memproduksi perangkat secanggih iPhone, Apple mengambil pendekatan yang berbeda. Mereka tidak menunggu kesiapan, melainkan membentuknya. Apple memilih langsung siapa mitranya dan turut membantu para mitra tersebut tumbuh menjadi raksasa manufaktur kelas dunia.
Apple Store pertama baru hadir di Beijing pada 2008—tahun ketika China menjadi pusat perhatian dunia karena menjadi tuan rumah Olimpiade. Sejak itu, jumlah toko resmi Apple di negeri tersebut tumbuh pesat menjadi puluhan. Pabrik Foxconn di Zhengzhou bahkan dikenal luas sebagai pusat produksi iPhone terbesar sejagat, dan dijuluki sebagai “Kota iPhone.”
Meski perakitan dilakukan di China, bagian terpenting dari iPhone—yakni chip pemroses berteknologi tinggi—masih dibuat di Taiwan, oleh TSMC, produsen semikonduktor terbesar di dunia. Komponen ini pun bergantung pada logam tanah jarang, yang memiliki peran krusial dalam mendukung performa audio dan kamera.
Berdasarkan data terbaru, sekitar 150 dari 187 pemasok utama Apple pada tahun 2024 menjalankan kegiatan produksi mereka di wilayah China.
“Tidak ada rantai pasokan di dunia yang lebih penting bagi kami daripada China,” ujar CEO Apple, Tim Cook, dalam sebuah wawancara tahun lalu.
Sejarah panjang antara Apple dan China menggambarkan bahwa hubungan antara desain dan manufaktur bisa saja berjauhan secara geografis, namun bersatu erat dalam ekosistem industri global yang saling bergantung satu sama lain—layaknya dua sisi dari satu koin bernama teknologi.