UU Telekomunikasi Dinilai Ketinggalan Zaman, Raksasa Digital Kecipratan Untung - Beritakarya.id

UU Telekomunikasi Dinilai Ketinggalan Zaman, Raksasa Digital Kecipratan Untung

Seiring laju pesat teknologi digital yang bergerak seperti arus deras tak terbendung, regulasi yang mengatur sektor telekomunikasi di Indonesia dinilai sudah tertinggal zaman. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi kini dianggap tak lagi relevan menghadapi lanskap komunikasi modern yang telah bergeser jauh dari masa kejayaannya dua dekade silam.

Pemerintah pun didesak agar segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap regulasi tersebut, demi menjamin keberlangsungan dan daya saing industri telekomunikasi nasional, terutama dalam menghadapi gempuran layanan digital lintas batas yang tak tersentuh kewajiban hukum yang sama.

Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menyatakan bahwa batasan istilah “telekomunikasi” di era sekarang tidak lagi cukup bila hanya mengacu pada komunikasi suara secara tradisional. Dalam dunia yang sudah dibanjiri aplikasi pesan instan, video call, hingga layanan suara berbasis internet, pemaknaan tentang telekomunikasi telah meluas tanpa batas yang jelas.

“Apakah layanan telepon melalui aplikasi dapat didefinisikan layanan telekomunikasi? Kata undang-undang itu layanan telekomunikasi karena definisi telekomunikasi apapun yang menyampaikan suara dari A ke B itu telekomunikasi. Tapi, nyatanya (saat ini) enggak,” kata Wakil Ketua ATSI Merza Fachys ditemui di Jakarta, Kamis (15/5/2025).

Lebih lanjut, Merza menyoroti ketimpangan kewajiban antara penyedia layanan konvensional dengan pemain digital over the top (OTT). Para penyelenggara telepon tradisional masih harus mematuhi sederet regulasi teknis seperti pelaporan kualitas layanan (Quality of Service/QoS) secara rutin dan menjamin koneksi bebas gangguan seperti drop call. Sementara OTT berjalan bebas tanpa beban regulasi serupa.

“Mereka (layanan over the top/OTT) bebas, bukan layanan telekomunikasi karena kalau begitu itu dinyatakan layanan telekomunikasi, maka ada tuntutan lainnya kan, harus ada QoS (Quality of Service), harus ini gitu. Ada aturan-aturan yang harus dipenuhi, nggak boleh ada drop call, nggak boleh ini itu. Sementara telepon masih ngikuti itu semua, kita harus lapor tiap bulan QoS. Nah, ini gimana?,” tutur Merza.

Dalam aturan yang saat ini berlaku, industri telekomunikasi terbagi ke dalam dua peran utama: penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa. Namun seiring bergesernya ekosistem, muncul pelaku baru yang beroperasi secara digital—seperti penyedia layanan komunikasi daring—yang tidak termasuk dalam dua kategori tersebut. Mereka tidak diwajibkan memenuhi aturan teknis maupun administratif sebagaimana para pelaku lama.

ATSI pun mendesak agar pemerintah mendefinisikan ulang apa yang dimaksud dengan layanan digital dan menyesuaikannya dalam revisi UU Telekomunikasi yang kini sudah berumur lebih dari dua dekade. Perubahan ini dinilai penting untuk menciptakan medan bermain yang setara antara pelaku lokal dan perusahaan global.

“Yang kasihan mohon maaf, saya katakan yang kasihan adalah pelaku telekomunikasi karena kewajibannya masih seperti dulu. Masih seperti dia menguasai segala macam hal dalam industri ini, padahal sudah nggak, yang lain justru yang sekarang menguasai semua hal dalam industri ini, nggak ada kewajibannya. Mari kita tata ulang. Penataan ini sudah sangat urgent, mari kita diskusikan di forum,” ungkap Merza.

Seperti seorang pelari yang terus dipaksa mengenakan beban berat di saat pelari lainnya melenggang tanpa halangan, pelaku industri telekomunikasi nasional berharap ada keadilan dalam pembaruan aturan. Jika tidak segera dibenahi, ketimpangan ini dikhawatirkan akan semakin menekan keberlangsungan pelaku lokal yang justru menjadi tulang punggung infrastruktur komunikasi di Indonesia.