Fenomena kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) semakin hari kian menjalar ke berbagai aspek kehidupan, mulai dari industri, pendidikan, hingga hiburan. Teknologi yang dulunya hanya menghuni ranah fiksi ilmiah kini telah menjadi bagian dari realitas sehari-hari. Namun, di balik kecanggihan yang ditawarkan, muncul pula kekhawatiran yang tidak bisa diabaikan.
Salah satu tokoh utama di balik kemajuan AI, Geoffrey Hinton—yang dijuluki sebagai salah satu “Godfather of AI” bersama dua rekannya—menyuarakan kecemasan mendalam terhadap arah masa depan teknologi ini. Dalam wawancaranya bersama CBS, Hinton memberikan gambaran menakutkan namun penuh makna.
“Cara paling mudah untuk memahaminya adalah kita seperti seseorang yang mempunyai seekor anak harimau yang lucu. Kecuali kamu bisa sangat yakin kalau harimau itu tidak akan membunuhmu saat sudah besar, kamu harus berhati-hati,” jelas Hinton.
Perumpamaan tersebut bukan sekadar dramatisasi. Hinton tengah menggambarkan AI sebagai kekuatan besar yang saat ini masih dalam bentuk “jinak”, namun berpotensi tumbuh menjadi entitas yang tak terkendali jika tidak ditangani dengan bijak. Ia menekankan bahwa banyak orang belum menyadari sepenuhnya dampak yang bisa muncul dalam beberapa tahun ke depan.
Sebagai ilmuwan yang telah meraih Nobel pada tahun 2024, dan juga pencetus gagasan mendasar dari sistem AI seperti ChatGPT, Hinton tentu memahami betul fondasi teknologi ini. Ia tidak hanya menciptakan, tetapi juga mengembangkan teknik pelatihan untuk sistem AI yang kini menjadi standar global. Namun ironisnya, justru karena pemahaman mendalam itulah ia merasa waswas terhadap kecepatan laju pengembangan AI saat ini.
Demi menjaga integritas suara kritiknya, Hinton bahkan memilih mundur dari posisinya di Google pada tahun 2023. Langkah itu ia ambil agar bisa berbicara bebas soal potensi bahaya AI tanpa harus menanggung beban etis terhadap perusahaan tempatnya bekerja.
“Lihatlah bagaimana (AI) lima tahun lalu dan bandingkan dengan kondisi saat ini. Hitung perbedaannya dan bayangkan apa yang terjadi ke depannya. Itu sangat menakutkan,” tambahnya.
Salah satu sorotan paling tajam datang dari kekhawatiran Hinton mengenai penggunaan AI dalam bidang militer. Menurutnya, begitu AI diterapkan untuk kepentingan persenjataan, ancaman terhadap umat manusia menjadi semakin nyata. Bahkan, ia tak ragu mengaitkan potensi kehancuran manusia dengan dominasi teknologi ini di masa depan.
“Saya berada di posisi yang sulit karena harus setuju dengan pandangan Elon Musk untuk hal ini, yaitu ada kemungkinan sebesar 10-20% kalau hal ini (AI) bakal mengambil alih, namun itu hanyalah tebakan liar,” jelas Hinton.
Pandangan ini sejalan dengan pernyataan Elon Musk, sosok yang juga dikenal vokal dalam menyuarakan risiko AI. Ironisnya, Musk di saat yang sama juga mempromosikan chatbot AI-nya sendiri bernama Grok, yang dikembangkan melalui platform X (dulu Twitter).
Sebagai penutup, Hinton mengaku kecewa terhadap Google yang kini mulai mengarahkan teknologi AI untuk kepentingan militer, sebuah langkah yang bertentangan dengan prinsip awal perusahaan tersebut yang sempat menolak kerja sama serupa.
Suara peringatan dari Hinton ibarat lonceng yang berdentang di tengah malam. Ia mengingatkan bahwa teknologi, sebesar dan secerdas apa pun, tetap membutuhkan etika, kehati-hatian, dan pengawasan yang ketat. Jika tidak, harimau kecil yang lucu itu bisa tumbuh menjadi pemangsa yang tak terkendali.