Dunia teknologi tengah bergerak menuju arah yang lebih personal, bahkan emosional. Jika selama ini kecerdasan buatan (AI) hanya dikenal sebagai asisten virtual yang membantu pekerjaan sehari-hari, Mark Zuckerberg kini membayangkan AI sebagai “teman bicara” bahkan “penyembuh jiwa” bagi mereka yang terjebak dalam kesunyian sosial.
Dalam sebuah diskusi bersama podcaster teknologi Dwarkesh Patel, pendiri sekaligus CEO Meta itu mengungkapkan keprihatinannya terhadap keterbatasan koneksi sosial di kalangan masyarakat modern, khususnya di Amerika Serikat.
“Apakah ini akan menggantikan koneksi langsung atau koneksi di dunia nyata? Jawaban asli saya untuk pertanyaan tersebut adalah kemungkinan tidak,” kata Zuckerberg, seperti dikutip dari PCMag, Jumat (9/5/2025).
“Ada banyak hal yang lebih baik tentang koneksi fisik jika kalian bisa mendapatkannya. Tapi kenyataannya adalah ada orang-orang yang tidak memiliki hubungan dan mereka merasa lebih kesepian daripada yang mereka inginkan,” sambungnya.
Pernyataan tersebut menjadi refleksi dari kondisi sosial saat ini, di mana interaksi fisik semakin tergantikan oleh komunikasi virtual. Zuckerberg menekankan bahwa meskipun pertemanan di dunia nyata memiliki nilai yang tidak tergantikan, AI bisa hadir sebagai pelengkap di saat hubungan manusia sulit diraih.
CEO Meta itu tidak menutup mata terhadap prasangka yang masih mengitari kedekatan antara manusia dan sistem buatan. Banyak pihak menilai relasi semacam ini sebagai sesuatu yang artifisial dan tidak wajar. Namun bagi Zuckerberg, AI memiliki potensi untuk memperkaya nilai dalam kehidupan manusia — layaknya alat musik yang semula hanya dipandang sebagai benda mati, namun bisa membangkitkan emosi saat dimainkan.
Zuckerberg menjelaskan pandangannya lebih lanjut saat berbicara di forum tahunan Stripe. Ia menggarisbawahi bahwa AI di masa depan akan meniru model algoritma seperti di Instagram atau TikTok — platform yang mampu membaca kebiasaan pengguna dan menyuguhkan konten yang relevan secara personal.
“Menurut saya orang-orang akan menginginkan sistem yang mengenal mereka dengan baik dan yang memahami mereka seperti algoritma feed mereka,” ujar Zuckerberg.
Bahkan dalam percakapan lain bersama analis teknologi Ben Thompson, Zuckerberg menyampaikan visi bahwa AI kelak akan menjadi rekan curhat, terutama bagi mereka yang tidak memiliki akses ke layanan konseling profesional.
“Ini seperti seseorang yang dapat diajak bicara… tapi tentang isu apapun yang mereka khawatirkan, dan untuk orang-orang yang tidak memiliki terapis, saya rasa semua orang akan memiliki AI,” jelasnya.
Namun gagasan ini tidak serta-merta diterima dengan tangan terbuka oleh semua kalangan. Sejumlah pakar kesehatan mental menyoroti keterbatasan AI dalam memahami kompleksitas emosi manusia. Salah satunya adalah dokter spesialis kesehatan jiwa, Dame Til Wilkes, yang menyampaikan kepada The Guardian bahwa sistem AI saat ini belum mampu menggantikan peran konselor atau terapis sungguhan. Bahkan, AI dikhawatirkan bisa memberi saran yang menyesatkan atau tidak sesuai konteks.
Meskipun demikian, perkembangan AI sebagai pendamping emosional masih terus berjalan. Jika dulu teknologi hanya dianggap sebagai alat bantu kerja, kini ia mulai menyentuh aspek paling dalam dari eksistensi manusia — kebutuhan untuk didengar dan dimengerti.