Potong Gaji karena Shalat Jumat, Jan Hwa Diana Diduga Lakukan Tindakan Sewenang-wenang Lain - Beritakarya.id
Berita  

Potong Gaji karena Shalat Jumat, Jan Hwa Diana Diduga Lakukan Tindakan Sewenang-wenang Lain

Gelombang kecaman menyeruak usai muncul dugaan pelanggaran serius terhadap kebebasan beribadah yang dilakukan oleh pemilik usaha UD Sentosa Seal, Jan Hwa Diana. Aksi yang dinilai tidak adil ini mencuat setelah beredar laporan bahwa pekerja Muslim dikenakan potongan gaji setiap kali menjalankan ibadah shalat Jumat.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menyampaikan komitmennya untuk menelaah lebih jauh peristiwa yang terjadi di kawasan Surabaya, Jawa Timur.
“Saya akan pelajari (cek kasusnya),” ujar Nasaruddin seperti dikutip dari Surya, Minggu (20/4/2025).
Namun, ia menegaskan bahwa hingga kini belum ada laporan resmi yang masuk ke pihaknya.
“Belum dapat ke saya itu laporannya,” tegasnya.

Dugaan Diskriminasi terhadap Ibadah Jumat

Salah satu mantan pegawai UD Sentosa Seal, Peter Evril Sitorus, membocorkan informasi bahwa teman-teman seagamanya yang beragama Islam dikenakan pengurangan upah sebesar Rp 10.000 setiap kali melaksanakan shalat Jumat.
“Karena saya non-Islam, saya kurang tahu detailnya. Tapi saya tahu ada pemotongan Rp 10.000 per Jumat kalau mereka shalat Jumat,” ujar Peter ketika memberikan keterangan di Mapolres Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.

Lebih lanjut, Peter mengaku hanya memperoleh bayaran sebesar Rp 80.000 per hari, jumlah yang ia anggap tidak sepadan dengan beban kerja harian yang harus ditanggungnya.

Kesaksian serupa juga diunggah melalui akun Instagram resmi Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji. Salah satu mantan karyawan menyatakan bahwa pemotongan dilakukan apabila durasi ibadah Jumat melewati batas waktu istirahat yang ditentukan perusahaan.
“Kalau kita Jumatan kan lebih dari itu Pak (waktunya), nah uang Rp 10.000 itu dianggap untuk mengganti waktu yang lebih,” ujarnya.

Rentetan Perlakuan Merugikan Karyawan

Selain praktik pengurangan gaji untuk ibadah, Jan Hwa Diana juga diduga melakukan sejumlah tindakan yang menyulitkan para buruh lainnya.
Peter menyebut bahwa perusahaan memberlakukan sistem denda yang memberatkan ketika seorang pekerja tidak masuk kerja, bahkan potongannya setara dengan dua hari kerja.
“Ada (potongan gaji), jadi kalau tidak masuk satu hari potongannya (seperti kerja) 2 hari. Nominalnya potongannya Rp 150 ribu, terus gaji per harinya Rp 80 ribu,” ungkapnya.

Ia juga mengungkapkan ketimpangan antara jam kerja dan gaji yang tidak memenuhi standar upah minimum.
“Gajinya di bawah UMK, jam kerjanya tidak sesuai. Dari pukul 09.30 WIB sampai pukul 17.00 WIB, kalau lembur enggak dihitung lembur,” sambungnya.

Praktik Penahanan Dokumen Pribadi

Tidak berhenti di situ, dugaan pelanggaran lain datang dari pengakuan Ananda Sasmita Putri Ageng, yang menyebut bahwa lebih dari 50 karyawan dipaksa menitipkan ijazah sejak pertama kali bergabung di perusahaan.
“Sejak dia (karyawannya) baru pertama masuk ke interview, terus setelah itu hari kedua dia wajib menitipkan ijazah. Keseluruhan pegawai mungkin, ini kan baru beberapa (yang lapor),” jelas Ananda.

Bagi mereka yang tidak bersedia menyerahkan dokumen asli tersebut, perusahaan mewajibkan untuk memberikan jaminan uang tunai.
“Kalau tidak (menaruh) ijazah kan mereka harus menaruh uang jaminan sebesar Rp2 juta. Kalau mereka nggak mau menaruh ijazah, mereka mengganti uang itu, mereka menaruh uang,” imbuhnya.

Ananda kini hanya berharap agar ijazah miliknya dikembalikan tanpa syarat.
“Semoga pemilik perusahaan tersebut membuka hatinya selebar-lebarnya, untuk mengasihkan ijazah kami. Kita hanya minta itu saja, ijazah asli kita, itu ijazah SMA atau SMK tolong dikembalikan,” ujarnya, Kamis (17/4/2025).

Sementara itu, Peter mengaku sudah berusaha mencari jalan agar dirinya dipecat demi bisa memperoleh kembali ijazahnya tanpa harus membayar. Sayangnya, strategi tersebut gagal.
“Saya sengaja memang untuk dikeluarkan. Saya kira kalau dikeluarkan itu ijazah saya dikembalikan, ternyata tidak, tetap ditahan dan diminta uang Rp 2 juta,” tuturnya.

Gaji Belum Dibayarkan

Kuasa hukum para mantan pekerja, Edi Kuncoro Prayitno, mengungkapkan bahwa sejumlah kliennya belum menerima pelunasan gaji setelah memutuskan keluar dari perusahaan.
“Teman-teman yang sekarang ini menuntut ijazah ini posisinya sudah di luar, sudah resign. Terakhir ada yang gajinya diberikan, ada yang tidak, ada yang belum,” terang Edi.

Ia juga meminta agar pihak kepolisian segera mengambil langkah konkret dan mengamankan lokasi maupun dokumen-dokumen penting.
“Saya mendorong kepada pihak kepolisian dan aparat lainnya agar segera mengamankan TKP dan mengamankan barang bukti,” pungkasnya.