Helena Lim Hadapi Kasus Timah: Tangisan dan Status Crazy Rich Jadi Sorotan - Beritakarya.id
Berita  

Helena Lim Hadapi Kasus Timah: Tangisan dan Status Crazy Rich Jadi Sorotan

Helena Lim, terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan timah, menangis saat menyampaikan pembelaannya di persidangan. Dalam pleidoi pribadinya, ia turut menyinggung julukan crazy rich yang melekat padanya.

Helena memberi judul pleidoi pribadinya, “Berdagang Valas Berujung Naas dengan Harga Mahal Sebuah Popularitas”. Dalam pleidoinya, ia menjelaskan bahwa julukan “crazy rich” Pantai Indah Kapuk (PIK) yang disematkan padanya muncul seiring kesuksesannya sebagai seorang single mother.

“Kesuksesan saya sebagai seorang single mom ternyata menjadi sorotan dan inspirasi bagi banyak orang yang mengenal dan mendengar kisah saya saat itu, terutama bagi orang yang bernasib sama seperti saya yaitu single parent. Berita dari mulut ke mulut dan akhirnya berujung ke media sosial, hingga diberi istilah oleh media sebagai crazy rich PIK,” kata Helena Lim saat membacakan pleidoi pribadinya di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (12/12/2024).

Helena mengakui bahwa awalnya dia merasa bangga dengan julukan tersebut. Menurutnya, julukan “crazy rich” itu merupakan bentuk apresiasi terhadap kerja keras dan kesuksesannya.

“Klaim tersebut pada awalnya bukan dari saya Yang Mulia, tetapi memang saya akui bahwa saya bangga saat itu karena hasil kerja keras saya sejak muda mendapat akreditas dan apresiasi dari netizen. Dalam perenungan ini telah saya sadari ada ruang kosong dalam diri saya sehingga saat itu saya merasa layak dan pantas mendapatkan apresiasi sebagai seorang single mom,” ujarnya.

Dia menyatakan bahwa pada saat itu, julukan “crazy rich” PIK dianggap sebagai penghargaan atas pengorbanan yang telah ia lakukan sejak remaja. Namun, menurutnya, julukan tersebut kini runtuh karena dijadikan dasar dalam kasus korupsi timah yang menjeratnya.

“Ada perasaan bahagia ketika ruang kosong di kehidupan saya diisi oleh pengakuan di masyarakat. Ketika penghargaan tersebut kemudian semakin meluas, dan mewujud menjadi popularitas seorang Helena Lim, maka seluruh pengorbanan saya sejak saya remaja menjadi terbayarkan. Namun ternyata Yang Mulia, harga sebuah popularitas itu sangat mahal Yang Mulia, sangat mahal sekali,” ujar Helena sambil terisak.

“Saya membayarnya dengan harga diri saya, dengan integritas dan karakter kejujuran yang telah saya pupuk sejak usia kanak-kanak. Nilai kebaikan yang ditanamkan orang tua saya sekarang runtuh, seiring dengan runtuhnya jargon crazy rich yang kemudian dijadikan pondasi bangunan kasus korupsi Timah yang berdiri megah dengan dekorasi Rp 300 triliun,” tambahnya.

Dia mengungkapkan bahwa kebanggaan atas kerja kerasnya tenggelam akibat kasus dugaan korupsi ini. Menurutnya, terseret dalam kasus ini menjadi luka yang sangat mendalam bagi dirinya dan keluarganya.

“Seorang crazy rich menjadi terdakwa korupsi. Drama framing orang yang kaya dari uang rakyat, kontan menjadi drama favorit netizen. Sempurna untuk membuat yang tidak ada menjadi ada, dan yang ada menjadi lenyap. Lenyap seiring dengan hanyutnya kebanggaan akan kerja keras saya semenjak usia saya remaja. Perjuangan menuntut keadilan ini sungguh memberikan luka yang dalam untuk saya dan keluarga saya, bingkai demi bingkai dijalin menghantarkan perkara ini menjadi selebrasi, ide anti kemapanan dalam strata sosial,” ucapnya.

Helena menyatakan bahwa framing dirinya sebagai seorang crazy rich yang menikmati uang rakyat telah menjadi tontonan menarik dalam kasus ini. Ia menambahkan bahwa kebencian masyarakat terhadap stigma “crazy rich” justru turut menormalkan tirani dalam penegakan hukum.

“Ini adalah pembelajaran pertama dan utama yang bisa saya petik dari kejadian ini, betapa tindakan mempertontonkan kebahagiaan, kesuksesan ataupun kemapanan hidup adalah bahan bakar antipati publik yang menjadi api dalam sekam dalam perkara ini yang memanfaatkan hiperbola dunia agar muncul kenyinyiran, bahkan kebencian masyarakat terhadap stigma crazy rich PIK untuk menormalkan tirani dalam penegakan hukum,” ujarnya.

Lebih lanjut, Helena berharap majelis hakim dapat memberikan putusan yang adil untuk dirinya. Dia juga mengaku tidak mengetahui tentang asal usul dan penggunaan dana corporate social responsibility (CSR) yang didakwakan oleh jaksa.

“Hari ini di hadapan majelis hakim yang saya muliakan, Yang Mulia, adalah harapan terakhir saya untuk membuka gerbang keadilan hukum. Yang Mulia, telah menggali pertanyaan demi pertanyaan, Yang Mulia telah membesarkan hati saya dalam persidangan dengan menggali fakta dari saksi-saksi di persidangan dengan cara yang sangat profesional dan bertanggung jawab,” katanya.

“Sehingga sedikit demi sedikit rasa kesal dan kecewa yang terpupuk sejak saya ditahan, dituduh, dipertontonkan di media menjadi sirna. Saya masih tetap memelihara iman, bahwa pertolongan Tuhan tidak akan terlambat dan mewujud nyata lewat palu keadilan yang berada di tangan Yang Mulia majelis hakim,” imbuhnya.

Sebelumnya, Helena Lim dituntut dengan hukuman 8 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan, serta diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar subsider 4 tahun kurungan. Jaksa meyakini Helena Lim melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 56 ke-2 KUHP, serta Pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juncto Pasal 56 ke-1 KUHP.