Gempa bumi berkekuatan magnitudo 7,7 mengguncang Myanmar pada Jumat (28/3), menyebabkan getaran yang terasa hingga ke Bangkok, ibu kota Thailand. Guncangan hebat ini tidak hanya menggetarkan tanah, tetapi juga mengakibatkan kerusakan serius di beberapa titik di kota tersebut.
Salah satu dampak paling mencolok terjadi pada sebuah gedung setinggi 30 lantai yang sedang dipersiapkan untuk menjadi kantor pemerintah. Bangunan tersebut roboh dalam hitungan detik akibat gempa, menyebabkan puluhan orang terjebak di bawah reruntuhan. Tak hanya itu, beberapa ruas jalan di Bangkok dilaporkan mengalami penurunan permukaan atau ambles akibat getaran dahsyat dari gempa yang berpusat di Sagaing, Myanmar.
Lantas, mengapa gempa yang terjadi ratusan kilometer dari Bangkok tetap mampu menimbulkan dampak yang begitu besar?
Fenomena Vibrasi Periode Panjang
Direktur Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Daryono, menjelaskan bahwa fenomena ini terjadi akibat efek Vibrasi Periode Panjang (Long Vibration Period).
“Di mana gelombang gempa yang sumbernya jauh akan direspon oleh tanah lunak. Endapan sedimen tanah lunak tebal di Bangkok dapat merespon gempa dari jauh hingga membentuk resonansi yang mengancam gedung-gedung tinggi,” kata Daryono.
Dengan kata lain, tanah lunak di Bangkok berperan sebagai penghantar getaran yang memperkuat dampak gempa. Guncangan dari gempa besar yang terjadi jauh di Myanmar bisa terus beresonansi di kota tersebut, terutama terhadap bangunan bertingkat tinggi yang berdiri di atas lapisan tanah yang tidak padat.
Kasus Serupa di Meksiko
Fenomena serupa pernah terjadi di Mexico City pada tahun 1985. Saat itu, gempa berkekuatan 8,1 mengguncang zona subduksi Cocos dengan pusat gempa di pantai Michoacan, Meksiko. Meskipun episentrum berjarak sekitar 350 km dari Mexico City, kota tersebut mengalami kerusakan yang sangat parah. Bahkan, sebagian besar dari 9.500 korban tewas berasal dari Mexico City.
Daryono menjelaskan bahwa kondisi tanah di Mexico City yang dulunya merupakan rawa purba hasil reklamasi turut memperparah dampak gempa.
“Reclaimed land (tanah reklamasi) adalah material yang tidak terkonsolidasi yang sangat berbahaya jika terjadi gempa kuat,” ungkap Daryono.
Bangkok memiliki kondisi tanah yang mirip dengan Mexico City, yakni terdiri dari lapisan tanah lunak yang mudah bergoyang ketika menerima gelombang seismik dari kejauhan. Hal ini menjelaskan mengapa dampak gempa Myanmar bisa begitu besar di kota tersebut.
Efek Direktivitas Memperparah Guncangan
Selain faktor tanah lunak, Daryono juga menduga bahwa efek direktivitas berperan dalam tingkat kerusakan di Bangkok.
“Efek ini dapat terjadi pada gempa bumi. Semakin tinggi direktivitas, semakin terkonsentrasi energi dalam satu arah,” imbuh Daryono.
Dengan kata lain, gempa di Myanmar kemungkinan memiliki karakteristik pelepasan energi yang terfokus ke arah tertentu, dan Bangkok berada dalam jalur tersebut. Hal ini menyebabkan guncangan yang lebih intens di kota itu dibandingkan dengan daerah lain yang berjarak serupa dari pusat gempa.
Kesimpulan
Kerusakan parah yang terjadi di Bangkok akibat gempa Myanmar bukanlah fenomena kebetulan. Tanah lunak yang mendominasi kawasan Bangkok, resonansi seismik yang diperkuat oleh endapan sedimen, serta efek direktivitas yang memusatkan energi gempa ke arah tertentu menjadi faktor utama di balik peristiwa ini.
Dampak besar ini menjadi pengingat bahwa kondisi geologi suatu wilayah bisa memperburuk efek gempa, meskipun pusat gempa berada jauh dari lokasi terdampak. Oleh karena itu, evaluasi struktur bangunan dan kesiapsiagaan menghadapi gempa di kota-kota besar dengan karakteristik serupa sangatlah penting untuk mengurangi risiko bencana di masa mendatang.