Legislator Desak UGM Pecat Guru Besar Terduga Pelaku Kekerasan Seksual - Beritakarya.id
Berita  

Legislator Desak UGM Pecat Guru Besar Terduga Pelaku Kekerasan Seksual

Seorang akademisi bergelar profesor di Universitas Gadjah Mada (UGM), Edy Meiyanto, kini berada di ujung tanduk karier akademiknya setelah tersangkut kasus dugaan kekerasan seksual. Nama besar dan jabatan tinggi tak menjadi tameng bagi Edy dari tuntutan keadilan yang kini bergema dari parlemen.

Himmatul Aliyah, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, mendorong UGM untuk mengambil tindakan tegas berupa pemecatan tanpa hormat terhadap Edy apabila terbukti bersalah.

“Jika terbukti bersalah, maka pelaku wajib dipecat secara tidak hormat. Dunia pendidikan tidak boleh memberi ruang bagi individu yang berperilaku amoral dan melanggar etika dasar kemanusiaan.”

Bagi Himmatul, keputusan untuk memberhentikan bukan sekadar hukuman administratif, tetapi juga simbol perlawanan terhadap praktik kekerasan yang menggerogoti dunia akademik. Ia menegaskan bahwa institusi pendidikan tidak boleh menjadi lahan subur bagi perilaku menyimpang, apalagi yang dilakukan oleh sosok yang seharusnya menjadi teladan.

“Jika tidak diberi sanksi tegas, termasuk pemecatan, maka bukan tidak mungkin kekerasan seksual akan terus berulang, dan budaya impunitas akan tumbuh subur,” sambungnya.

Ia juga menekankan bahwa kampus seyogianya menjadi tempat yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan martabat kemanusiaan, bukan ruang yang justru menimbulkan trauma bagi mahasiswanya.

Senada dengan Himmatul, Wakil Ketua Komisi X lainnya, Lalu Hadrian Irfani, menyuarakan keprihatinan serupa. Ia menggarisbawahi pentingnya penerapan regulasi yang telah disusun untuk mengantisipasi dan menangani kasus-kasus serupa.

“Terkait kasus kekerasan, saya ingin menyampaikan agar Permendikbudristek nomor 55/2024 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dapat diterapkan,” kata Hadrian.

Aturan tersebut ibarat perisai hukum yang mengatur langkah-langkah pencegahan serta penanganan atas tindakan kekerasan, baik yang bersifat fisik, mental, verbal, maupun seksual. Dalam ketentuan ini, seluruh perguruan tinggi diwajibkan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPK) sebagai garda terdepan melawan praktik kekerasan dalam dunia kampus.

Tidak hanya itu, peraturan ini juga menuntut institusi pendidikan tinggi untuk mensosialisasikan kebijakan anti-kekerasan, menyediakan jalur pelaporan yang aman, serta mengalokasikan anggaran khusus guna menunjang aktivitas Satgas PPK. Termasuk di dalamnya kegiatan pelatihan dan edukasi kepada dosen, mahasiswa, dan staf agar mampu mengenali, mencegah, dan merespons tindakan kekerasan secara efektif.

“Implementasi yang efektif dari peraturan ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan pendidikan tinggi yang aman, nyaman, dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Jika impelentasi ini berjalan baik, insya Allah, kekerasan dimanapun di Lingkungan Pendidikan Tinggi, tidak akan terjadi,” sambungnya.

Sementara itu, dari pihak kampus, Sekretaris UGM Andi Sandi menjelaskan bahwa kasus ini telah menjadi perhatian sejak tahun lalu. Proses pelaporan berlangsung pada tahun 2024 dan ditangani langsung oleh Satgas PPKS yang memang dibentuk untuk menangani kasus semacam ini.

Berdasarkan hasil penyelidikan, Edy dinyatakan melanggar Peraturan Rektor UGM No 1 Tahun 2023, khususnya Pasal 3 ayat 2, yang berkaitan dengan pencegahan serta penanganan kekerasan seksual.

“Jadi prinsipnya, dari sisi pemeriksaan, itu dilaporkan 2024, pertengahan, dan kemudian akhir 2024 itu direkomendasikan oleh satgas PPKS ke kami, dan keputusan Rektornya itu menyebutkan yang bersangkutan untuk dikenai sanksi sedang sampai berat,” kata Sandi.
“Nah, sanksi sedang sampai berat itu mulai dari skorsing sampai dengan pemberhentian tetap,” lanjut dia.

Kini, bola panas berada di tangan pihak universitas untuk menentukan nasib Edy. Kasus ini menjadi refleksi mendalam bagi dunia akademik bahwa jabatan bukanlah tameng, dan martabat lembaga pendidikan harus terus dijaga dari segala bentuk penyimpangan moral.