Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menyuarakan kekhawatiran mendalam atas arah perkembangan geopolitik dunia yang dinilainya semakin menyimpang dari asas keadilan dan sistem internasional yang berpijak pada norma hukum yang disepakati bersama. Menurutnya, dunia sedang bergerak menjauhi kompas moral yang selama ini dijadikan pegangan.
Pernyataan ini disampaikan Prabowo saat hadir di Antalya Diplomacy Forum (ADF) 2025, yang berlangsung di Nest Convention Center, Antalya, Turki, pada Jumat (11/5/2025). Dalam pidatonya, Prabowo mengakui bahwa meskipun harapan terhadap keberhasilan diplomasi kian menipis, upaya untuk tetap berada di jalur dialog dan negosiasi tidak boleh dikesampingkan.
“Terus terang saja, saya cenderung sedikit pesimistis terhadap keberhasilan diplomasi saat ini. Namun, saya sadar bahwa kita tidak boleh menyerah pada diplomasi,” kata Prabowo dilihat di YouTube Sekretariat Presiden.
Dalam penyampaiannya, Prabowo menyentuh satu kutipan dari Thucydides—seorang pemikir besar dari Yunani kuno—yang menggambarkan kerasnya kenyataan hubungan antarnegara dewasa ini. Ia menyiratkan bahwa kekuatan militer atau politik kini lebih banyak menentukan siapa yang benar, menggantikan nilai etika atau keadilan.
“Yang kuat akan melakukan apa yang mereka bisa dan yang lemah akan menderita apa yang harus mereka derita,” katanya.
Prabowo menilai bahwa prinsip-prinsip yang dahulu ditegakkan pasca Perang Dunia Kedua—seperti demokrasi, kebebasan sipil, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia—yang awalnya diperjuangkan oleh negara-negara Barat, kini justru seringkali diabaikan oleh pencetusnya sendiri. Negara-negara berkembang yang sempat menjadikan prinsip-prinsip itu sebagai cahaya penuntun kini dibingungkan oleh kontradiksi moral yang diperlihatkan di panggung global.
“Kami percaya pada demokrasi. Kami percaya pada hak asasi manusia. Kami percaya pada tatanan yang berdasarkan aturan. Namun, sekarang, tiba-tiba, kita melihat di depan mata kita, katakanlah apa yang disebutkan Presiden Erdogan, anak-anak yang tidak bersalah, wanita yang tidak bersalah, pria yang tidak bersenjata dibantai di depan mata seluruh dunia,” tuturnya.
Meski tetap menempatkan diplomasi sebagai pilar utama dalam membangun perdamaian, Prabowo tak menampik bahwa dunia saat ini tengah bersiap menghadapi berbagai skenario terburuk. Ketidakpastian global menurutnya bisa berdampak luas, mulai dari ancaman ekonomi hingga meningkatnya krisis kemanusiaan seperti kelaparan.
“Kalau Anda mau tanya, saya katakan kita harus melalui jalur diplomasi. Tapi sekarang banyak negara yang sedang menilai, saya kira, dan bersiap untuk yang terburuk,” kata Prabowo.
Dengan analogi seperti cuaca yang tak menentu, Prabowo menggambarkan bahwa negara-negara kini seperti petani yang menabur benih diplomasi, tetapi juga harus menyiapkan atap untuk menahan badai ketegangan global yang sewaktu-waktu bisa datang. Dalam situasi semacam ini, optimisme terhadap kerja sama internasional perlu dirawat, meski realitasnya tak selalu memberi ruang untuk harapan.