Di tengah peliknya persoalan sampah yang membebani Kota Cimahi, secercah harapan datang dari sudut gang kecil di Jalan Usman Dhomiri. Bukan dari lembaga besar atau program raksasa, melainkan dari sebuah kafe mungil bernama Jatuh Hati yang membawa semangat besar lewat tindakan kecil.
Pemerintah Kota Cimahi saat ini tengah menghadapi kondisi kritis terkait limbah domestik. Dengan volume sampah harian yang mencapai angka fantastis, sekitar 230 ton, dan hanya diperbolehkan membuang sebagian kecilnya—sebanyak 17 ritase per hari—ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Kota Cimahi nyaris tenggelam dalam timbunan sisa konsumsi warganya. Sejak 21 April 2025, status darurat sampah pun resmi diberlakukan sebagai sinyal bahwa krisis ini sudah tidak bisa ditangani dengan cara biasa.
Sebagai bentuk reaksi atas kondisi tersebut, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) setempat terus menggencarkan upaya pengurangan beban sampah, salah satunya dengan menekankan pentingnya pemilahan sejak dari titik paling awal—yakni rumah tangga.
Menariknya, semangat memilah sampah sejak dini ternyata telah lebih dulu dihidupkan oleh Muhammad Irfan Kamil, pemilik Jatuh Hati, sebuah kafe dengan nuansa pedesaan modern yang memanfaatkan barang-barang bekas sebagai bagian dari estetikanya.
“Jadi kalau konsep kafenya itu memang rustic, kita menggunakan barang bekas. Kemudian untuk pengelolaan sampahnya, kita mengusung konsep eco friendly,” kata Irfan.
Tak sekadar menyediakan tempat buang sampah seperti tempat umum pada umumnya, kafe ini menjadi pionir kecil dalam gerakan memilah sampah. Di sini, pelanggan diajak ikut serta dalam proses memilah berdasarkan jenis—sebuah langkah edukatif yang perlahan membentuk kesadaran lingkungan.
“Kita sediakan tempat sampah sesuai jenisnya, ada yang sampah kaleng, plastik keras, tempat sampah khusus kertas, kemudian botol beling atau kaca. Sebisa mungkin kita edukasi pelanggan itu membuang sampahnya sesuai dengan jenis ke wadah yang tersedia,” ujarnya lagi.
Langkah ini bukan hanya bagian dari strategi operasional semata, melainkan refleksi dari niat untuk turut membentuk karakter masyarakat yang lebih tertib dan bertanggung jawab terhadap limbah yang mereka hasilkan. Irfan percaya bahwa membangun budaya bersih harus dimulai dari langkah kecil yang dilakukan secara konsisten.
Sampah-sampah anorganik yang sudah diklasifikasikan kemudian dikumpulkan dalam kantong besar dan disalurkan ke Bank Sampah Unit (BSU) yang letaknya tidak jauh dari lokasi kafe.
“Sampah yang sudah terpilah itu kemudian kita setorkan ke bank sampah, kebetulan kita kerjasama juga dengan bank sampah yang ada di sebelah kafe kita. Jadi kita ini sudah sangat minim buang sampah ke TPS,” kata Irfan.
Sementara itu, limbah organik yang berasal dari sisa bahan makanan dan makanan pelanggan, tak dibiarkan membusuk tanpa manfaat. Irfan menerapkan pengelolaan secara mandiri dengan metode komposting dan maggotisasi. Proses penguraian alami tersebut dilakukan langsung di bagian belakang kafe.
“Jadi kita juga menerapkan komposting dan maggot. Sebisa mungkin memang semua sampah dari Jatuh Hati ini sudah selesai di kitanya, kita bisa dibilang sudah ikut arahan pemerintah untuk mengurangi sampah,” tutur Irfan.
Di tengah derasnya arus konsumsi dan minimnya kesadaran masyarakat akan sampah yang mereka hasilkan, Jatuh Hati hadir bak oasis kecil yang menyejukkan. Dengan konsep eco friendly yang ditanamkan dari hal-hal sederhana, kafe ini menunjukkan bahwa perubahan besar bisa berawal dari niat dan konsistensi kecil di gang sempit kota.