Gurun Sahara, yang saat ini dikenal sebagai hamparan pasir tandus dan gersang, ternyata pernah menjadi lanskap hijau yang mendukung kehidupan. Sebuah studi terbaru mengungkap bahwa wilayah ini mengalami curah hujan tinggi antara 8.700 hingga 4.300 tahun lalu, memungkinkan ekosistem yang lebih subur dan cocok bagi permukiman manusia serta peternakan.
Jejak Air di Dalam Stalagmit
Para ilmuwan dari University of Oxford bekerja sama dengan Institut National des Sciences de l’Archéologie et du Patrimoine menganalisis stalagmit di gua-gua Maroko selatan. Stalagmit, yang terbentuk dari tetesan air yang mengandung mineral, dapat menyimpan informasi mengenai kondisi iklim masa lalu. Dengan metode pengukuran isotop uranium dan thorium, para peneliti berhasil mengidentifikasi periode di mana curah hujan meningkat secara signifikan.
Hasil penelitian ini menegaskan bahwa selama Periode Lembab Afrika (African Humid Period/AHP), Sahara mengalami peningkatan curah hujan yang drastis dibandingkan kondisi saat ini. Fenomena ini memungkinkan terbentuknya sungai-sungai dan akuifer yang menyediakan air bagi kehidupan.
Jejak Peradaban Kuno di Sahara
Ditemukannya peninggalan arkeologi di kawasan selatan Pegunungan Atlas menunjukkan bahwa komunitas manusia telah berkembang pesat pada periode ini. Dengan adanya sumber air yang cukup, masyarakat kuno dapat bertahan hidup dengan mengembangkan sistem penggembalaan ternak.
Berkat curah hujan yang melimpah, wilayah yang sebelumnya kering berubah menjadi lahan subur. Hal ini membuka peluang bagi masyarakat Neolitikum untuk menjelajahi wilayah yang lebih luas, membangun interaksi sosial dengan kelompok lain, serta menciptakan jalur perdagangan yang menghubungkan berbagai daerah di Afrika.
Mekanisme Alam yang Mengubah Sahara
Penelitian lebih lanjut terhadap isotop oksigen dalam stalagmit mengungkap bahwa uap air yang membasahi Sahara saat itu berasal dari kawasan tropis. Proses ini dipengaruhi oleh gumpalan tropis, yakni formasi awan besar yang membawa udara lembap ke utara.
Selain itu, sistem angin Monsun Afrika Barat yang lebih kuat saat itu juga mendorong curah hujan masuk lebih dalam ke kawasan Sahara, mempersempit area kering dan menciptakan iklim yang lebih ramah bagi kehidupan. Perubahan kondisi ini berperan besar dalam pengelolaan lahan, pengembangan pertanian, dan domestikasi hewan pada masa lalu.
Pelajaran bagi Masa Depan
Temuan ini menjadi referensi penting dalam memahami pola iklim global. Jika gumpalan tropis berperan besar dalam membawa curah hujan ke Sahara di masa lalu, kemungkinan besar mekanisme serupa masih berpengaruh terhadap pola cuaca saat ini. Para ilmuwan berharap studi ini dapat membantu memprediksi pergeseran iklim di masa depan, termasuk dampaknya terhadap sumber daya air dan laju penggurunan di Afrika Utara.
Lebih lanjut, penelitian ini menyoroti pentingnya menganalisis catatan iklim regional untuk memahami perubahan cuaca dalam jangka panjang. Jika selama ribuan tahun Sahara dapat berubah dari hijau menjadi kering, bukan tidak mungkin pergeseran iklim di masa mendatang juga akan membawa perubahan signifikan pada lanskap bumi.
Penemuan ini mengubah persepsi bahwa gurun adalah bentang alam yang statis dan tak berubah. Sebaliknya, Sahara telah mengalami transformasi dramatis akibat perubahan iklim alami, yang membuktikan bahwa kondisi geografis dunia selalu mengalami dinamika sepanjang sejarah.