Dampak Chernobyl Tak Kunjung Usai: Permukaan Bumi Masih Bergerak Hingga Kini - Beritakarya.id

Dampak Chernobyl Tak Kunjung Usai: Permukaan Bumi Masih Bergerak Hingga Kini

Fenomena geologi yang mencengangkan terungkap dari kawasan Asia Tengah. Daratan di wilayah bekas Laut Aral, yang dulunya menyandang predikat sebagai salah satu danau terbesar di muka Bumi, kini menunjukkan gejala naik secara perlahan, seperti tanah yang bangkit dari tidur panjangnya. Fenomena ini bukan akibat gempa ataupun letusan gunung berapi, melainkan karena dorongan dari dalam mantel Bumi akibat hilangnya tekanan air selama puluhan tahun.

Menurut temuan terbaru dari sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal Nature Geoscience pada 7 April 2025, kenaikan tanah tersebut merupakan respons dari kerak dan mantel Bumi terhadap penguapan ekstrem Laut Aral, yang dikenal luas sebagai “Chernobyl yang tenang” — istilah metaforis untuk menggambarkan bencana ekologis yang tak bersuara namun menghancurkan.

Tidak seperti insiden nuklir Chernobyl yang mengguncang Ukraina pada 1986, malapetaka di Laut Aral bukan dipicu oleh ledakan reaktor, melainkan oleh intervensi manusia pada sistem alaminya. Pada era 1960-an, dua sungai utama yang menopang kehidupan danau ini dialihkan untuk memenuhi kebutuhan pertanian. Dampaknya seperti membiarkan sebuah kolam perlahan dikuras tanpa mengisi ulang: Laut Aral mulai mengering dan menyusut hingga akhirnya terpecah menjadi dua bagian pada tahun yang sama dengan tragedi Chernobyl.

Seiring waktu, danau ini kehilangan air dalam jumlah yang sangat besar — setara dengan sekitar 1,1 miliar ton air atau serupa dengan bobot 150 Piramida Agung Giza, menurut perhitungan para ilmuwan.

“Hilangnya massa air yang setara dengan 150 Piramida Agung Giza itu begitu signifikan sehingga awalnya menyebabkan kerak Bumi sedikit terpantul, seperti pegas terkompresi yang telah dilepaskan,” tulis Simon Lamb, profesor madya ilmu Bumi di Victoria University of Wellington di Selandia Baru, dalam sebuah artikel yang diterbitkan di Nature Geoscience bersamaan dengan penelitian tersebut.

Simon Lamb menekankan bahwa ketika volume air yang luas menghilang, tekanan yang sebelumnya menekan batuan di bawahnya berkurang drastis.

“Karena berat air di danau akan menekan batuan di bawahnya, diantisipasi bahwa batuan ini akan terpantul dengan sebagian kecil dari kedalaman air asli saat beratnya dihilangkan,” lanjut Lamb, yang tidak terlibat langsung dalam riset tersebut.

Namun, studi terkini justru memperlihatkan hal yang mengejutkan: elevasi permukaan tanah masih terus meningkat, bahkan jauh setelah danau mengering. Tonjolan tanah itu bahkan menjalar lebih luas dari garis pantai historis Laut Aral.

Melalui pemanfaatan teknologi pengamatan satelit canggih bernama InSAR (Interferometric Synthetic Aperture Radar), para peneliti bisa menangkap gerakan halus permukaan tanah. Teknologi ini berfungsi layaknya mata elang dari luar angkasa, yang mampu mendeteksi pergeseran milimeter demi milimeter.

“Lingkungan gersang di wilayah Laut Aral, yang membentang di perbatasan antara Uzbekistan dan Kazakhstan, memudahkan untuk menangkap pergerakan kecil di tanah,” tulis para peneliti dalam penelitian tersebut.

Data yang dikumpulkan dari tahun 2016 hingga 2020 menunjukkan terjadinya pembengkakan tanah sejauh 500 kilometer dari pusat danau, dengan rata-rata kenaikan sekitar 7 milimeter per tahun.

“Pengangkatan tersebut kemungkinan besar terjadi karena mantel Bumi bereaksi terhadap penguapan Laut Aral,” kata para ilmuwan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa lapisan dalam Bumi, yakni mantel, seperti cairan kental yang mengalir untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh massa air yang hilang. Ilustrasinya, saat lapisan es raksasa mencair, seperti di Skandinavia setelah Zaman Es, batuan mantel akan bergerak perlahan untuk menyesuaikan tekanan permukaan yang berubah.

“Laut Aral, meskipun tidak pernah terlalu dalam, pada masa kejayaannya cukup lebar sehingga beratnya dapat dirasakan di Bumi pada kedalaman puluhan hingga ratusan kilometer,” kata Lamb.
“Hal ini karena lapisan batuan dingin terluar yang kuat tidak dapat menahan berat badan air yang begitu luas tanpa sedikit tenggelam ke dalam batuan yang lebih panas dan lebih lemah di bawahnya,” sambungnya.

Sejauh ini, tonjolan tanah telah mencapai ketinggian sekitar 40 milimeter selama periode empat tahun pengamatan dan diprediksi akan terus meningkat dalam beberapa dekade mendatang.

“Pengangkatan tersebut menyoroti potensi aktivitas manusia untuk memengaruhi dinamika Bumi bagian dalam. Saat ini, Laut Aral hanyalah sisa-sisa dari dirinya yang dulu,” tulis para peneliti.

Laut Aral yang pernah menjadi ikon kejayaan perairan pedalaman, kini telah menjelma menjadi simbol kehancuran ekologis. Pada 2007, permukaan airnya menyusut drastis hingga membelah danau menjadi tiga bagian. Lalu, pada 2020, salah satu dari cekungan yang tersisa benar-benar hilang.

Dampaknya tak hanya visual. Wilayah sekitar Laut Aral kini mengalami penggurunan cepat dan krisis kekeringan yang semakin parah dari tahun ke tahun. Pada 2014, bencana ini dijuluki “Chernobyl yang tenang”, mengacu pada kehancuran ekosistem dan gangguan ekonomi yang merayap dalam diam namun sangat terasa.